35. Curiga

458 28 2
                                    

Kaos putih dibalut sweter biru muda dengan celana jeans sebagai bawahannya tidak lupa sepatu kets berwarna putih. Gadis yang kini berdiri di depan cermin mengikat rambutnya. Setelah itu menyemprotkan sedikit parfum pada pakaiannya.

Aldifa keluar kamar. Ia melihat Mama nya sedang berbicara dengan Alfin di ruang tamu. Sore ini Aldifa akan jalan dengan Alfin. Aldifa menerima ajakan itu karena ia ingin memperbaiki pertemanan mereka, tidak lebih.

"Ayo!" ajak Aldifa memutuskan obrolan Bintang dan Alfin. "Kita pergi dulu, Ma."

Aldifa menyalimi punggung tangan Bintang lalu diikuti oleh Alfin.

"Pulangnya jangan kemaleman ya," ingat Bintang diangguki dua remaja itu.

Alfin jalan duluan keluar rumah. Aldifa mengekor di belakangnya. Kali ini Alfin tidak membukakan pintu mobil untuk Aldifa. Karena ia tidak ingin mendapatkan kalimat sarkastik seperti waktu itu.

"Kita mau kemana?" tanya Aldifa di tengah perjalanan.

"Eum, gue dapet rekomendasi tempat makan yang enak. Baru buka bulan lalu. Lo mau ke sana kan?"

"Boleh,"

Alfin tersenyum tipis. Hatinya sedikit lega karena hubungannya dengan Aldifa membaik. Ya walau pun Alfin belum bisa memastikan apakah Aldifa masih suka padanya atau tidak. Tapi hal seperti ini sudah cukup baginya.

"Eh, itu ada apa ya?" tanya Aldifa sambil melihat kerumunan orang yang menghambat kendaraan lain lewat.

"Ada kecelakaan kayaknya," jawab Alfin ragu.

"Berhenti di sana!"

Alfin menurut. Mobilnya berhenti tak jauh dari kerumunan orang-orang. Aldifa keluar mobil untuk melihat apa yang terjadi. Alfin sendiri tidak tinggal diam, ia ikut keluar mobil dan menyusul Aldifa.

"Ada apa ya, Mas?" tanya Aldifa.

"Anak kecil ketabrak, Neng. Pengendaranya kabur gitu aja," jawab pria yang Aldifa tanyakan.

Aldifa melihat anak kecil itu. Anaknya setengah sadar, Aldifa meringis saat melihat kakinya mengeluarkan darah yang tidak bisa dikatakan sedikit.

"Bawa ke mobil aja, biar saya sama teman saya yang bawa ke rumah sakit terdekat," kata Aldifa, diangguki pria tadi.

Alfin mengangguk saat Aldifa hendak berbicara padanya. Ia tidak mungkin melarang Aldifa yang ingin berbuat kebaikan. Lagi pula ia sendiri tidak masalah.

Mobil Alfin kembali melaju. Alfin tetap mengendarai mobilnya dan Aldifa duduk di samping Alfin. Sedangkan anak kecil tadi berada dikursi belakang dengan salah satu ibu-ibu yang menjadi saksi mata kecelakaan tadi.

Sampai di rumah sakit anak tersebut langsung dibawa ke UGD. Aldifa, Alfin dan ibu tadi menunggu di depan ruang UGD.

"Keluarganya sudah dihubungi dan sedang dalam perjalanan kemari," kata si ibu sambil tersenyum tulus.

Aldifa menghela napas lega. Ia sedikit khawatir tadi. Walau pun anak kecil tadi bukan siapa-siapanya tapi ia masih punya rasa kemanusiaan untuk menolongnya.

"Gue ke kantin dulu, Fin. Beli minum," Aldifa berdiri dari duduknya.

"Mau gue temenin?" tawar Alfin.

"Nggak perlu,"

Setelah mengatakan itu Aldifa pergi menuju kantin rumah sakit. Sebenarnya Aldifa sedikit takut dengan darah. Mau itu darahnya sendiri atau orang lain. Bahkan saat pertama kali melihat anak kecil itu terluka dan mengeluarkan banyak darah di kakinya, tubuh Aldifa mendadak lemas dan wajahnya mendadak pias. Tapi bukan Aldifa namanya jika tidak bisa menutupi semua itu.

Setelah membeli minum dan membayarnya, Aldifa kembali menyusuri koridor rumah sakit. Langkahnya begitu tenang, kadang ia ikut tersenyum saat melihat seorang yang sakit sedang tertawa atau tersenyum dengan keluarganya.

Di belokan koridor Aldifa tidak sengaja menabrak seseorang. Ia mengusap dahinya yang sakit namun tidak seberapa.

"Maaf, nggak se—Aldifa?"

Aldifa menghentikan aktivitasnya lalu menatap orang yang menyebut namanya.

"Kak Leo?" Aldifa mengerutkan dahi bingung, untuk apa Leo ada di sini. "Kak Leo ngapain di sini, emang siapa yang sakit?"

"Eum ... gu-gue di sini karena—"

"Leo, kok lo ninggalin gu—Aldifa?" Wina membulatkan matanya. Ia tidak menyangka akan bertemu Aldifa disini.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Aldifa, sedikit curiga.

"Lo tau ini tempat namanya apa?" tanya Wina, ketus.

"Rumah sakit."

"Itu tau, ya kita lagi nengok yang sakitlah," sarkas Wina.

"Emang siapa yang sakit?" tanya Aldifa lagi.

"Kok lo kepo sih?!" Wina membentak namun seperkian detik kemudian raut wajahnya berubah pias. "Gue nggak sengaja ngebentak lo. Leo, ayo pergi."

Wina menarik lengan Leo paksa. Leo sempat mengucapkan selamat tinggal pada Aldifa. Mereka berdua jalan begitu cepat seakan-akan Aldifa akan menerkam mereka hidup-hidup.

Aldifa merasa ada yang disembunyikan oleh mereka berdua. Tiba-tiba senyum miring Aldifa tercetak. Ia akan mencari tahu apa yang mereka sembunyikan.

***

Dua remaja yang kini tengah menyantap makanan pencuci mulut setelah sebelumnya mereka mencoba berbagai macam makanan.

Gadis yang tengah menikmati puding susu dengan buah-buahan di atasnya begitu tenang. Beda dengan cowok dingin di hadapannya yang sedari tadi hanya memperhatikan. Bahkan makanan pencuci mulutnya hanya tersentuh beberapa sendok saja setelah itu dibiarkan.

"Gue pengin kentang gorengnya," kata Aldifa setelah menghabiskan pudingnya.

"Masih kuat tuh perut?" cibir Alfin. Pasalnya porsi makan Aldifa lebih banyak darinya. Saat Alfan bertanya, Aldifa hanya menjawab kapan lagi gue ditraktir orang. Begitulah jawaban seorang Aldifa. Padahal Aldifa bisa membeli apapun dimana pun dan kapan pun. Toh, Papa nya pemilik perusahaan Star Corp. Perusahaan arsitektur yang terkenal sampai manca negara.

Bahu Aldifa mengedik acuh. Ia dengan santainya memanggil pelayan lalu memesan kentang goreng. Alfin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Lo bakal rugi kalau suka sama gue yang doyan makan," gurau Aldifa.

"Makan sepuas lo, gue nggak akan rugi," Alfin terkekeh.

"Bangkrut tau rasa lo,"

"Nggak peduli,"

"Masa?"

"Iy—"

"Bodo," Aldifa tertawa kecil. "Receh banget ya gue."

Alfin ikut tertawa. Akhirnya ia bisa melihat sisi ceria Aldifa kembali.

Jangan pernah berubah, Al.

***

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang