"Fin, gue mau bicara sama lo. Tapi lo harus jawab jujur," penuturan Aldifa membuat Alfin yang tengah menyetir mobilnya mengernyitkan dahi. Si kembar yang tengah adu mulut pun mendadak berhenti.
"Bicara apa?" tanya Alfin, heran.
"Luka di perut lo itu ... akibat tusukan pisau?" tanya Aldifa, sedikit meringis.
Alfin diam. Wajahnya datar, membuat Aldifa frustasi apakah Alfin tengah mengingat sesuatu atau tengah mencari alasan yang logis.
"Ya," jawab Alfin, kemudian tanpa ragu.
Pundak Aldifa melemas. Jika benar itu Alfin, berarti ia telah menyelamatkan nyawanya dan Alfan.
"Elo ... yang nolongin gue dan Alfan di gudang selatan?" tanya Aldifa lagi. Dan pertanyaan ini akan menjawab semuanya.
Alfin berdehem singkat. Hal itu berhasil membuat pasokan oksigen disekitarnya mendadak hilang. Kenapa ia tidak menyadarinya kalau itu Alfin?
"Gue bakal jelasin semuanya, Al." Alfin menepikan mobilnya, lalu menghadap Aldifa sepenuhnya. "Gue selalu cari tahu apa yang lo lakuin. Sampai gue tahu kalau nyawa lo dalam bahaya. Gue diam di deket rumah lo saat hari kejadian itu, sampai Eza datang tarik-tarik lo secara paksa, gue ikutin."
Aldifa menahan napas. Ternyata selama ini, orang yang membantunya adalah Alfin. Dan Alfin pun selalu mengorek informasi tentangnya. Aldifa tidak peduli siapa orang suruhan Alfin di sekolah untuk mengorek informasinya. Tapi yang ia pedulikan adalah nyawa Alfin.
"Jadi yang ngirim pesan suruh gue dan Alfan pergi waktu itu, elo?" tanya Aldifa mengingat isi pesan yang menyuruhnya pergi tanpa menghiraukan Alfin.
Alfin mengangguk.
"Jadi yang nyebarin gosip Kak Eza gangguan mental dan masuk rumah sakit jiwa itu, elo?" Kalea ikut nimbrung setelah sekian menit ia hanya menyimak.
Alfin menoleh pada Kalea. "Iya. Gue nyuruh temen gue yang sekolah di SMA PB buat nyebarin gosip itu."
Kalea bertepuk tangan. "Keren lo, Fin."
"Keren apanya sih, Kal? Dia ketusuk pisau." Aldifa merenggut, tidak setuju dengan ucapan Kalea.
Kalea cemberut. Iya sih Alfin ke tusuk pisau, tapi buat Kalea perlawanan dan rencana Alfin tuh keren banget. Dari mulai nyelamatin Aldifa terus suruh temennya nyebar gosip si mantan kapten basket masuk rumah sakit jiwa.
"Tapi sekarang luka lo?" tanya Aldifa lagi.
"Gue nggak pa-pa, Dif. Udah nggak kerasa apapun kok. Ya ... emang pertamanya rada ngilu gitu." Alfin mengusap tengkuknya.
Aldifa meringis. Jarinya yang pernah tergores pisau saja perihnya minta ampun apa lagi ini perut ke tusuk pisau.
"Muka lo pucet, Dif. Sakit?" tanya Kelvin yang menyadari wajah Aldifa.
Aldifa menggeleng. "Ng—"
"Lo gimana, sih? Aldifa kan takut darah. Dia pasti keinget waktu perut Alfin berdarah banyak." Kalea menepuk paha Kelvin keras.
"Nggak usah diperjelas juga kali." Aldifa merenggut, sebal.
Alfin kembali melajukan mobilnya. Melanjutkan perjalanan pulang yang sempat tertunda. Entahlah, ia merasa berdosa jika tidak menyelamatkan Aldifa dan Alfan pada saat itu. Dimana beberapa hari lalu sebelum kejadian itu dirinya menemukan satu fakta mengejutkan.
***
Langit yang tampak mendung, angin yang berhembus kencang tidak membuat Aldifa merubah pikirannya untuk kembali ke rumah dan rebahan di kasur empuknya. Ya, setelah sampai di depan rumahnya, Aldifa mengajak Alfin untuk jalan-jalan sebentar. Alfin menyetujuinya, ia memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Aldifa lalu menunggu Aldifa yang tengah masuk rumah menyimpan tasnya.
Setelah berjalan-jalan kurang lebih sepuluh menitan, Aldifa mengajak Alfin untuk duduk di salah satu bangku taman.
"Ada yang mau lo omongin?" tanya Alfin, menatap Aldifa yang sedari tadi bungkam.
Aldifa menggeleng singkat. "Nggak ada,"
Diam. Hening menyelimuti mereka berdua. Aldifa menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya dan membuat rambutnya yang terikat bergoyang kesana-kemari. Aldifa menoleh ke samping kiri tepatnya pada sosok cowok yang duduk di sebelahnya.
"Kenapa lo?" tanya Aldifa, karena ia mendengar jelas kalau Alfin menghembuskan napas berat seakan-akan tengah membuang banyak beban yang ada. "Mau cerita?"
Alfin diam, terlihat menimbang-nimbang. Namun detik berikutnya ia berbicara.
"Kalau ternyata selama ini lo itu punya Kakak, tapi orangtua lo sembunyiin itu. Reaksi apa yang akan lo tunjukin sama orangtua lo, Al?"
Dahi Aldifa berkerut samar. "Ya, gue minta penjelasan kenapa mereka sembunyiin hal itu dari gue."
"Tapi kalau penjelasan mereka mengarah kalau mereka itu malu punya anak kayak gitu gimana?"
"Nggak mungkinlah," Aldifa terkekeh pelan. "Nggak mungkin ada orangtua yang malu punya anak. Bahkan banyak orangtua yang pengin punya anak. Tapi—tunggu deh, kenapa lo mendadak bahas ginian? Lo punya Kakak?" Aldifa membelalak kaget.
"Ah, nggak. Temen gue nanya gitu ke gue. Ya, gue bingunglah harus jawab apa. Makanya gue nanya ke elo."
Aldifa mengangguk-angguk paham. Ia mendongak menatap langit yang mulai meneteskan air hujan sedikit demi sedikit seakan menyuruh mereka berdua untuk segera pulang sebelum hujan semakin deras.
"Pulang yuk, Fin!"
Aldifa bangkit, diikuti Alfin. Mereka berjalan tergesa sebelum air yang ditumpahkan langit semakin banyak.
***
Vote duluuu baru lanjutt
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Teen Fiction[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...