34. Puisi

477 29 1
                                    

Aldifa, Kalea, Kelvin, dan Alfin berangkat bersama menggunakan mobil Alfin. Sepanjang perjalanan menuju sekolah dipenuhin oleh candaan receh Kalea. Semuanya tertawa kecuali Alfin. Alfin tetap Alfin yang dingin dan jarang senyum apalagi ketawa. Tapi dia mau bicara banyak menurut Aldifa itu suatu kemajuan.

Mobil berhenti di parkiran khusus siswa SMA Pelita Bangsa. Mereka turun bersamaan lalu berjalan beriringan menuju kelas. Semua pasang mata tertuju pada murid baru, siapa lagi kalau bukan Alfin.

"Ada yang bakal jadi most wanted, nih," sindir Kalea pada Alfin tapi diakhir kalimat ia terkekeh.

"Ke kantin yuk!" ajak Aldifa disetujui yang lain.

Mereka berempat menyusuri koridor menuju kantin. Sesekali Aldifa tertawa karena cerita Kalea mengenai novel yang dibacanya.

Langkah Aldifa terhenti. Ia menatap kerumunan siswa di depan mading. Biasanya Aldifa tidak penasaran, tapi hari ini entah kenapa ia sangat penasaran.

"Kesana dulu, Kal," kata Aldifa.

Kalea memutar bola matanya. "Nggak usahlah, Dif. Paling juga puisi baru,"

"Puisi?" gumam Aldifa, dahinya berkerut samar.

Aldifa membelah kerumunan hanya untuk melihat sebuah puisi. Pikirnya puisi itu pasti menarik karena banyak siswa yang membacanya.

Helaian daun terbang tertiup angin.
Terus mengudara tanpa henti.
Banyak tempat yang dilalui.
Tapi itu semua belum pasti.

Pun dengan hati.
Yang sekarang terasa sepi.
Ada sesal yang terpatri.
Dengan sebuah tanya tanpa jawaban yang pasti.

Bertindak tanpa pikir.
Itu membuat semuanya pelik.
Diri ini sakit.
Tetapi dirinya lebih sakit.

Dalam sesak yang kian menghimpit.
Dalam raga yang sulit 'tuk bangkit.
Dalam suara yang terus menjerit.
Ada permintaan maaf yang terucap dalam hati.

17.38 WIB
- Kelabu.

Dalam hati Aldifa mengakui jika puisi itu memang bagus. Aldifa suka menulis, tidak jarang ia membuat puisi. Namun menurutnya puisi buatannya terlalu absurd. Bahkan Kalea sendiri selalu tertawa ngakak jika Aldifa memperlihatkan puisi buatannya.

"Kayaknya si penulis lagi sakit deh," kata cewek berambut bob, diangguki teman disebelahnya. "Tapi sakit dalam artian lain gitu."

Temannya mengerutkan dahi, "Maksudnya selain sakit masalah hati ada sakit penyakit gitu? Pusing gue mikirnya."

Cewek berambut bob mengedikkan bahu sambil menjawab, "Mungkin. Nggak usah dipikirinlah, yang pasti puisi ini yang paling gue suka dari yang kemarin-kemarin."

Mereka berdua pergi. Di tempatnya Aldifa diam. Ada sesuatu yang membuatnya harus berpikir tetapi disisi lain ia bingung apa yang harus dipikirkannya. Seperti nama si penulis. Kelabu. Hal yang membuat Aldifa diam di tempat masih begitu abu.

"Dif,"

Aldifa tersentak, ia berbalik dan melihat Kalea sedang menatapnya dengan wajah bingung.

"Lo kenapa? Kayak orang yang baru beres sadar dari pingsannya," kata Kalea.

Aldifa menggeleng, "Ayo ke kantin."

***

"Lo tau nggak? Siswa yang bimbel atau les atau semacamnya di Kak Alfan pasti peringkatnya bagus-bagus. Malah pada masuk peringkat paralel semua. Gila nggak sih!" bisik Kalea. Beginilah Kalea jika guru menerangkan dan ia mulai bosan, Aldifa menjadi sasaran ghibahannya.

"Nggak tau gue," jawab Aldifa seadanya, sambil mencatat hal penting yang guru terangkan.

"Lo pacarnya gimana sih? Masa hal kayak gitu nggak tau."

"Kita udah putus," suara Aldifa merendah. Ia menghela napas berat, kegiatan menulisnya dihentikan karena sekarang pikirannya kembali bertanya-tanya dimana dan kemana seorang Alfan.

"Gue lupa, sori." Kalea memfokuskan kembali pandangannya ke depan. Ia merutuki dirinya yang tidak bisa menyaring perkataannya.

Beberapa detik kemudian Kalea menoleh dan membisikan sesuatu pada Aldifa.

"Tapi kalau lo mau, lo bisa balik sama Alfin kok," Kalea cekikikan.

"Kal." sahut Aldifa penuh penekanan.

"Kalea. Ngapain kamu cekikikan begitu, hem?!" Guru Fisika, Bu Meta berkata sambil memolotot. Gaya khasnya yang menjadi omongan siswa-siswi.

"Eh, bu. Ada mbak kunti disebelah ibu yang lagi cekikikan, jadi saya ikutan deh. Kasian kan mbak kuntinya cekikikan sendiri," jawab Kalea asal. Kalea tahu gurunya itu walau wajahnya sangar tapi takut dengan hal yang berbau mistis.

Bu Meta bergidik. Seisi kelas menahan tawa termasuk Kelvin kembarannya yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Nggak usah ngaco kamu," ujar Bu Meta yang kini duduk ditempatnya.

"Eh bu jangan duduk, mbak kuntinya marah ibu ngedudukin makanannya," Kalea terhibur, ia paling senang menjahili orang.

Bu Meta langsung berdiri. Ia berdehem sebelum mengambil tas dan buku paketnya di atas meja.

"Baik anak-anak, pelajaran kita sudahi saja. Dikarenakan ibu ada urusan." Bu Meta keluar kelas dengan langkah tergesa-gesa.

Satu kelas bersorak senang karena kejahilan Kalea. Pasalnya setelah menerangkan materi tadi, Bu Meta pasti memberikan tugas beranak.

"Gue aduin sama bunda," kata Kelvin, dengan nada yang dibuat-buat.

"Lah jangan dong. Harusnya lo seneng, kembaran lo ini prestasinya meningkat." Kalea menaik turunkan alisnya bangga.

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang