20. Bicara Berdua (a)

536 34 0
                                    

Kasus Eza yang masuk rumah sakit jiwa menyebar seantero sekolah. Aldifa sampai melongo tak percaya kalau Eza mempunyai gangguan mental. Ya, keliatannya sih biasa aja, kayak anak remaja pada umumnya. Bahkan saat ini fans Eza yang bejibun seketika menyinyir Eza.

Bagi Aldifa sendiri, ia seperti terbebas dari sebuah sel penjara yang mendekamnya. Eza tidak ada yang berarti hidupnya tidak akan terusik oleh ke-berengsekan Eza. Tapi, satu hal yang terbesit dipikiran Aldifa. Siapa yang menyebarluaskan perihal Eza mempunyai gangguan mental? Pertanyaan itu hanya tersimpan diotaknya, entah sampai kapan, mungkin selamanya.

"Gila, gue masih nggak nyangka kalau Kak Eza masuk rumah sakit jiwa. Cowok seganteng itu punya gangguan mental?" Kalea berdecak sembari menggelengkan kepala tak percaya.

Aldifa mengangkat bahu acuh. "Namanya juga hidup, Kal. Penuh dengan kejutan."

"Iya juga sih, gue juga masih terkejut ngeliat Kelvin yang senyam-senyum sendiri kemarin malem di balkon kamar," Kalea bergidik ngeri mengingat kejadian kemarin.

"Kok bisa?" Aldifa mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca.

"Entahlah, mungkin lagi jatuh cinta. Efek jatuh cinta kan emang dahsyat banget, Dif."

"Lebay lo,"

Kalea nyengir, ia menutup buku yang dibacanya lalu kembali berkata. "Dif, gue mau minjem cerita rakyat ini aja buat tugas Bahasa Indonesia."

"Judulnya apaan?"

"Malin Kundang,"

Aldifa hanya ber-oh, setelah itu ia mengajak Kalea untuk kebagian tempat peminjaman buku perpustakaan.

Setelah urusan mencari buku dan mencatat pinjaman buku di bagian pustakawan. Aldifa dan Kalea menyusuri koridor menuju ke kelas. Sesekali mereka melempar lelucon agar perjalanan mereka tidak membosankan.

"Bisa bicara sebentar?"

Aldifa dan Kalea saling pandang lalu menatap kakak tingkatnya dengan tatapan heran.

"Lo mau bicara sama gue atau Kalea?" tanya Aldifa ogah-ogahan.

"Lo, gue mau bicara sama lo."

"Oh." Aldifa memberikan buku yang ia pinjam dari perpustakaan tadi pada Kalea. "Gue nitip, simpen aja di laci meja gue."

Kalea mengangguk lalu membisikan sesuatu pada Aldifa. "Awas lo digigit sama tuh nenek lampir."

Aldifa terkekeh lalu menatap Wina dan memberi isyarat lewat matanya untuk pergi sekarang. Karena Aldifa sadar hal yang akan dibicarakan itu butuh ruang privasi.

"Gue minta lo jangan ada hubungan apa-apa sama Alfan. Baik itu temen, sahabat apalagi pacar. Lo dan Alfan itu sebatas junior dan senior di sekolah. Paham kan lo?" ucap Wina setelah menutup pintu ruang musik.

Aldifa menyandarkan punggungnya ke dinding lalu bersidekap. "Pahamlah, kan lo ngomongnya pake bahasa Indonesia bukan bahasa planet."

Wina menahan kesal. Ia tidak habis pikir, kenapa Aldifa bisa masuk jurusan IPA yang notabenya isi otak semua siswa pada cemerlang. Beda dengan Aldifa yang saking cemerlangnya jadi kelebihan bego.

"Maksud gue itu lo-"

"Gue paham," potong Aldifa cepat. "Tapi gue nggak punya alasan untuk jauhin Alfan."

Wina mengacak rambutnya frustasi. "Denger baik-baik. Lo itu terlalu berbahaya untuk Alfan yang lemah-"

"Alfan nggak lemah!" Aldifa menatap Wina tajam, tubuhnya sudah kembali berdiri tegap.

Aldifa mengingat jelas kata-kata Papa Alfan bahwa Alfan tidak kuat tapi ia juga tidak lemah. Dan selama ini Aldifa sudah mengakui itu. Bahwa Alfan tidak lemah.

"Oke. Tapi lo nggak tau seberat apa penyakit Alfan. Gue cuma minta lo jauhin Alfan supaya Alfan nggak terlibat dengan kejadian konyol yang berhubungan sama lo. Plis, lo pikirin kesehatan Alfan jangan buat dia semakin menderita." Wajah Wina sudah menunjukan kekhawatiran yang tidak biasa. Bukan khawatir sebagai sahabat, melainkan lebih.

"Kenapa? Kenapa lo sekhawatir ini?" pertanyaan bodoh. Tanpa jawaban dari Wina pun Aldifa tahu jawabannya.

"Karena gue sayang Alfan."

Pernyataan tulus yang keluar dari mulut Wina sedikit melukai hati Aldifa. Aldifa sadar, hatinya sudah memilih. Seberapa banyak ia menyangkal bahwa Aldifa tidak menyukai Alfan karena menyebalkan itu tidak akan mempan jika hatinya sudah terisi secuil rasa untuk Alfan.

"Gue nggak bisa jauhin Alfan!" Aldifa melewati Wina untuk menuju pintu keluar. Namun disaat tangannya hendak meraih knop pintu, Wina bersuara.

"Penyakit Alfan semakin parah. Gue cuma minta jangan melibatkan Alfan sama sesuatu yang membahayakannya."

Tanpa sadar tangan Aldifa terkepal. Ia segera membuka pintu dan keluar dari sana. Aldifa akan membolos dijam pelajaran berikutnya. Ia butuh ketenangan. Butuh tempat sepi dan udara segar untuk menjernihkan pikirannya.

***

Tidak ada tempat yang tenang selain rooftop dan halaman belakang sekolah. Berhubung rooftop dikunci dan Aldifa malas meminjam kuncinya pada Alfan, jadi Aldifa memilih untuk pergi ke halaman belakang sekolah.

Aldifa duduk dikursi kayu, entah sudah berapa kali ia menghela napas. Ponselnya terus bergetar menandakan ada pesan masuk. Dan itu tidak jauh dari si kembar yang menanyakan keberadaannya.

"Astaga," Aldifa menggeram frustasi. Ia benci ketidaktahuan. Dirinya yang cuek dan acuh seketika merasa penasaran dengan penyakit yang di derita Alfan.

Penyakit Alfan semakin parah. Gue cuma minta jangan melibatkan Alfan sama sesuatu yang membahayakannya.

Perkataan Wina tadi terngiang dibenak Aldifa. Seperti dijejali batu besar, dadanya terasa sesak. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menganggap Alfan seolah ia tidak mengenalnya. Itu sama saja menyakiti Alfan. Tapi jika tidak melakukan itu, Alfan akan terus berada di dekatnya dan itu bisa membahayakannya. Mungkin saat ini Aldifa tidak memiliki masalah apupun dengan siapapun, tapi tidak tahu dengan esok, lusa dan seterusnya. Bisa jadi masalah yang datang kepadanya menjadi beban dipundak Alfan.

Dengan helaan napas berat, Aldifa mengambil keputusan.

"Maaf, Om. Aldifa nggak bisa melaksanakan amanah dari Om."

***

2 Juni 2019

***

Ngaret update yaa?
Maapkeun, sekarang-sekarang nggak bisa update tepat waktu.

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang