"Sebagai permintaan maaf dan sebagai bukti keseriusan ... "
Aldifa memutar bola mata malas melihat seorang pemuda yang duduk di belakangnya tengah memakaikan cincin ke gadis yang dicintainya. Riuh tepuk tangan dan siulan semakin membuat keadaan tidak kondusif. Jadi, semua yang diucapkan vokalis penyanyi tadi tertuju pada gadis yang duduk di belakang meja Aldifa?
Entah kenapa ia mendadak kesal. Saat pesanannya tiba Aldifa langsung menyantapnya tanpa berkata apapun pada Alfan. Alfan banyak bercerita tapi Aldifa malas mendengarkannya. Memangnya apa yang ia harapkan dari Alfan malam ini? Tidak ada, Aldifa tidak mengharapkan apa-apa. Tapi, kesal saja rasanya.
"Lo mau nambah?" tanya Alfan yang melihat makanan Aldifa sudah habis.
"Nggak! Gue mau pulang!" ucapnya kelewat judes.
Alfan mengernyitkan dahi bingung karena suasana hati Aldifa berubah seketika. Ia mengusap tengkuknya mencoba mencari cara untuk mengembalikan mood gadis di depannya.
"Mau es krim nggak, Al?" tanya Alfan.
"Nggak!"
"Cokelat?"
"Nggak!"
"Maunya apa?"
"Pulang!"
Alfan menghela napas panjang, "Oke kita pulang."
Aldifa bangkit, melangkah lebih dulu keluar kafe. Sedangkan Alfan menuju kasir untuk membayar pesanan mereka. Selama perjalanan tidak ada percakapan apapun diantara keduanya. Aldifa memberikan helmnya pada Alfan ketika mereka telah sampai di depan gerbang rumah Aldifa.
Alfan mencekal lengan gadis yang hendak melangkah pergi dari hadapannya. Ia memperhatikan wajah Aldifa lamat-lamat kemudian bertanya lembut. "Gue ada salah, ya?"
"Nggak," jawabnya singkat dengan raut wajah datar.
"Terus kenapa bete gitu, hm?" Alis tebalnya naik sebelah, Alfan memiringkan kepalanya.
"Ng—gue mau masuk!" Aldifa melepas cekalan tangan Alfan kemudian melenggang pergi memasuki rumahnya.
Alfan memandang Aldifa hingga sosoknya tidak terlihat lagi, ia mencoba mengingat-ingat apakah dirinya telah berbuat salah pada Aldifa. Namun, semakin Alfan pikirkan semakin frustasi karena ia tidak tahu apa kesalahannya.
"Banyak banget kayaknya kesalahan gue."
***
"HAHAHA!" Aldifa tertawa keras, tapi dipaksakan. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, bergerak kesana-kemari seperti cacing kepanasan.
Memangnya apa yang ia harapkan di kafe tadi? Pernyataan cinta dari Alfan lewat sebuah lagu? Balikan? Atau apa?! HAHAHAH, Aldifa kembali tertawa. Ia menenggelamkan wajahnya di bantal kemudian berteriak. Bodohnya lagi kenapa Aldifa harus nunjukin wajah betenya di depan Alfan. Malu banget.
Sebuah ketukan dari pintu balkonnya terdengar. Aldifa berdehem singkat, merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan kemudian beranjak dari kasur. Sebelum membuka pintu Aldifa mengatur napasnya untuk lebih tenang, bagaimana kalau yang di balik pintu sekarang ini adalah Alfan? Kepalanya menggeleng, kalau benar Alfan Aldifa tidak boleh menunjukan wajah betenya lagi.
Pintu terbuka, seorang gadis seusianya berdiri sembari nyengir kuda. Aldifa memutar bola matanya, seharusnya ia tidak berpikir kalau di balik pintu itu Alfan karena siapa lagi yang dengan leluasa bolak-balik lewat balkon kamar kalau bukan tetangganya.
"Ngapain lo ke sini, Kalea?" tanya Aldifa malas.
Kalea memperlihatkan keresek putih besar di tangannya pada Aldifa. Ia menerobos masuk ke dalam kamar Aldifa kemudian meletakkan keresek putih itu di atas karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Ficção Adolescente[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...