Hari Jumat
Sedari tadi, Aldifa berbicara pada Alfin. Tapi, tidak ada perkataannya yang digubris. Satu pun tidak ada. Aldifa mulai berpikiran kalau Alfin marah. Tapi... marah karena apa? Kenapa Alfin jadi diam begini?
Aldifa menghela napas kasar. Ia kesal dengan Alfin. Padahal Aldifa membawa makanan kesukaan Alfin, nasi goreng. Argh... Alfin kenapa sih?
"Fin, lo kenapa?"
Alfin sedikit terkejut. Aldifa memakai panggilan lo pada Alfin. Ekspresi Alfin tetap datar, walau pun tadi sedikit terkejut.
Aldifa sengaja memanggil Alfin seperti itu. Ia kesal setengah mati pada Alfin. Aldifa kesal, kesal, kesal. Alfin tetap sama, tidak menggubris Aldifa.
Terpaksa, Aldifa menarik buku bahasa yang Alfin baca. Menutupnya lalu, menyimpannya di laci meja Aldifa. Setelah itu, Aldifa menatap tajam Alfin.
Karena bukunya diambil oleh Aldifa. Alfin terpaksa menoleh pada Aldifa. Ia tahu Aldifa marah. Tapi, ada satu hal yang mesti Alfin lakukan agar Aldifa bisa melupakannya.
"Apa?" Alfin bertanya pelan.
"Apa?" ulang Aldifa, ia tersenyum sinis. "Cuman kata 'apa' yang kamu keluarin setelah banyak kata yang aku ucapkan? Kamu kenapa Alfin?"
Alfin diam beberapa detik. Memutar bola matanya malas. Seketika kata yang diucapkan Alfin membuat Aldifa membeku.
"Bukan urusan lo."
Aldifa tersenyum miris. Kenapa hatinya sakit?
"It's oke. Aku ke toilet!"
Saat Aldifa beranjak pergi. Saat itu juga Alfin merasa bersalah. Alfin tidak tega melakukan semua ini. Tapi keadaan memaksakan Alfin untuk melakukannya.
"Aldifa, maaf,"
***
Pagi yang cerah. Tapi, tidak se-cerah hati Aldifa. Sedari tadi Aldifa duduk gelisah di tempatnya. Bagaimana tidak gelisah? Lima menit lagi upacara bendera akan dilaksanakan. Tetapi Alfin belum datang juga.
Mungkin cukup untuk Aldifa menenangkan hatinya selama dua hari. Ya, dua hari, Sabtu dan Minggu. Kejadian hari Jumat kemarin membuat Aldifa berpikir keras. Mungkin ini salahnya karena terlalu cerewet saat bersama Alfin. Seharusnya Aldifa mengerti, kalau Alfin itu cowok dingin yang irit ngomong.
Aldifa terpelonjat kaget saat teman sekelasnya menepuk bahunya pelan.
"Nggak ikut upacara, Dif?" tanya teman sekelas Aldifa.
"Eh? Ikut kok!"
Aldifa mengambil topi kebanggaan SMP nya di dalam tas. Lalu, ikut membaur bersama siswa-siswi lain menuju lapangan.
Upacara bendera yang dilaksanakan setiap hari Senin adalah hal yang selalu Aldifa tunggu-tunggu. Apalagi saat sang Merah Putih dikibarkan. Aldifa sangat menyukainya. Tapi hari ini, entah kenapa Aldifa tidak bersemangat untuk mengikuti upacara.
Aldifa menghembuskan napasnya kasar. Ia mengangkat tangannya untuk hormat saat pemimpin upacara memberi aba-aba. Dan mulailah sang Merah Putih dikibarkan bersamaan dengan dinyanyikan-nya lagu Indonesia Raya oleh Tim Paduan Suara. Aldifa tersenyum tipis. Ia menghilangkan masalahnya sejenak.
Setelah selesai upacara, Aldifa dan teman sekelasnya kembali ke kelas. Tempat duduk sebelahnya masih kosong. Apa Alfin tidak masuk sekolah?
Aldifa menghampiri teman sekelasnya yang memiliki jabatan sekertaris, Rani. Rani selalu mengisi di buku agenda, siapa saja yang absen. Alias tidak masuk sekolah.
"Ran, Alfin nggak ngasih surat izin atau surat sakit, gitu?"
Rani mengeluarkan tiga buah amplop yang isinya surat. Ia membuka satu-satu surat itu.
"Nggak ada, Dif."
"Hm, oke. Makasih, Ran!"
Aldifa kembali ke tempat duduknya. Guru bahasa inggris, Mrs. Amy sudah memasuki kelasnya. Ia berpikir untuk menanyakan pada guru piket perihal Alfin. Mungkin saja orang tua Alfin mengirimkan surat lewat guru piket yang belum diserahkan pada Rani.
***
Aldifa berlari menelusuri koridor-koridor yang ramai oleh siswa-siswi. Sesuai pemikirannya tadi, sekarang jam istirahat dan Aldifa akan bertanya pada guru piket.
"Permisi, Bu!" sapa Aldifa pada guru piket.
"Oh, Aldifa, ada apa?"
Tidak heran kalau banyak guru yang kenal Aldifa. Aldifa termasuk murid yang berprestasi, tiga kali juara dalam bidang olahraga yaitu, basket dan lima kali menjadi juara satu dalam bidang akademik.
"Ada seseorang yang menitipkan surat bernama Alfin kelas 9'B nggak, Bu?"
"Ehm... sebentar ya, Ibu cari dulu!" Aldifa mengangguk, ia hanya memperhatikan guru piket yang sedang membuka surat dari dalam amplop putih. "Nggak ada, Aldifa. Memang kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, Bu. Oh iya, kalau nama Alfin diabsen ditulis dengan keterangan apa?"
"Sebentar," guru piket membuka buku absen kelas sembilan. Lalu mencari nama Alfin di bagian kelas 9'B. "Ibu kasih keterangan alfa. Soalnya tidak ada pemberitahuan apapun. Wali kelas kamu juga tidak menerima telepon dari orang tuanya Alfin."
"Oh, makasih, Bu. Kalau gitu Aldifa pamit ke kelas!"
Setelah mendapat anggukkan dari guru piket. Aldifa kembali ke kelas. Ia tidak mood untuk berbelok ke kantin.
Aldifa merasa, ia adalah teman sebangku paling bodoh. Selama lima hari bersama Alfin, kenapa Aldifa tidak meminta nomor teleponnya? Atau alamat rumahnya?
Argh... Aldifa menggerang frustasi. Ia membuka laci mejanya. Buku bahasa milik Alfin masih berada di lacinya. Aldifa mengeluarkan buku itu. Ia membuka cover-nya. Ada nama lengkap Alfin. Aldifa tersenyum tipis melihat tulisan tangan Alfin yang sangat rapi dan indah.
Alfin Aditama Putra
***
26 Januari 2019
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Roman pour Adolescents[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...