Disinilah mereka, pada jam istirahat kedua Aldifa mengirim pesan pada Alfan untuk menemuinya di bawah pohon rindang pinggir lapang. Tempat kali pertama Alfan mengusik Aldifa.
Aldifa menyodorkan buku bersampul coklat milik Alfan. Alfan menerimanya lalu menatap Aldifa tenang.
"Gue ... udah baca." Aldifa menundukan kepala, enggan membalas tatapan Alfan.
Alfan tersenyum kecil, rasanya lega setelah Aldifa mengetahuinya.
"Emang makin parah ya?" Aldifa mendongak, tatapan lembut Alfan membuatnya larut.
"Gue selalu berdoa sama Tuhan, semoga esok hari, lusa dan seterusnya masih bisa ngelihat lo." Alfan menangkup pipi Aldifa dengan tangan kanannya. Merekam setiap ekspresi gadis di hadapannya.
"Kenapa lo nggak bilang kalau lo harus dirawat?"
"Kalau gue bilang ntar kita nggak bisa kangen-kangenan dong," kekeh Alfan. Gemas melihat raut sebal Aldifa.
"Fan, jangan bercanda." Aldifa melepaskan tangan Alfan dari pipinya, lalu ia genggam. Sesuatu berdesir dalam tubuhnya, ia kembali merasakan kehangatan sosok Alfan.
Senyum tipis Alfan menghilang. Digantikan dengan raut serius. "Disaat gue berada dititik paling lemah, gue butuh sendiri, Al. Gue nggak mau membuat orang yang gue sayang khawatir sama kondisi gue. Udah cukup gue ngerepotin mereka, gue nggak mau ketergantungan sama banyak orang."
"Apa gue merasa kerepotan?" tanya Aldifa.
Alfan diam.
"Apa gue nggak khawatir saat lo pergi?"
Alfan diam.
"Fan, manusia itu makhluk sosial. Mereka nggak bisa hidup sendiri. Ada baiknya saat lo berada dititik paling lemah, orang yang lo sayang juga ikut. Mereka bantuin lo bangkit, bikin lo merasa dipeduliin. Yang sayang sama lo banyak, termasuk ... gue." Aldifa kembali menunduk. Menatap tanah tempat ia berdiri.
Alfan tertegun. Pemikiran mereka memang berbeda. Alfan yang tidak ingin mengkhawatirkan orang yang disayanginya dan Aldifa yang ingin Alfan lebih terbuka agar mereka—orang yang sayang pada Alfan—selalu ada dikala Alfan berada dititik paling lemah.
"Kak Leo tau kalau lo dirawat?" tanya Aldifa, kembali menatap Alfan.
Alfan mengangguk pelan. "Tapi gue nggak ngasih tau siapapun gue dirawat dimana."
Aldifa berdecak. Kadang Aldifa nggak habis pikir sama jalan pikiran Alfan. Susah ditebak, nggak tahu maunya apa.
Alfan menarik Aldifa ke dalam pelukannya. Membelai lembut rambut Aldifa yang tergerai. "Gue nyesel jadiin lo mantan."
Aldifa cemberut, ia berusaha melepaskan pelukannya. "Ini masih di lingkungan sekolah. Gue nggak mau punya catatan merah di BK gara-gara pelukan di lingkungan sekolah. Lepasin!"
Alfan terkekeh, ia melepaskan pelukannya. Menatap wajah Aldifa lekat, ia mengakui kalau dirinya benar-benar jatuh pada sosok Aldifa. Senyuman gadis itu membuatnya candu. Wajah merenggut membuatnya gemas. Bahkan sampai delikan matanya, rasanya Alfan ingin selalu ada di dekat gadis itu.
"Eng ... gue ke kelas duluan ya." Aldifa pamit.
Alfan tidak menggangguk atau pun menggelengkan kepala. Ia hanya menatap gadis itu dari tempatnya. Hingga sosoknya hilang saat berbelok memasuki koridor kelas sepuluh.
***
"Al, ayo temenin gue ke toko buku."
"Lain kali deh, Fin. Gue mau cepet sampe rumah, pengin rebahan." Aldifa melepaskan tangannya yang dicekal oleh Alfin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Teenfikce[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...