"Trust me, and never doubt her." -Jennie Manoban-

12K 847 152
                                    


Manoban's Apartement.

"Lalisa, kau mengambil kontrak itu lagi?"

"Ne."

"Ya Tuhan, kau akan sangat sibuk, honey... Kita bahkan tidak berbulan madu."

Jennie Manoban, wanita yang kini telah resmi menjadi istri dari seorang Lalisa Manoban itu, nampak sedang bersungut-sungut pagi ini.

Lisa, yang semula sibuk membaca beberapa lembar kertas yang berisi kontrak kerjanya, akhirnya mengalihkan pandangannya pada wajah sang istri.
Dia tersenyum gemas memperhatikan pipi mandoo itu nampak makin menggembil karna cemberut.

"Baby, what's going on? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak berbulan madu? Karna sudah jelas kita akan sulit melakukannya."

"Iya, tapi kupikir kau akan cuti dari semua pekerjaanmu, agar lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku. Tapi ini apa? Malah mengambil kontrak kerja lain. Menjadi mentor ini lagi? Jinjja?"

Bukannya panik karna melihat Jennie marah, Lisa malah semakin betah memperhatikan ekspresi merajuk dari istri yang baru dinikahinya belum sampai sebulan ini.

"J, kau percaya padaku?"
Tanya Lisa, sembari menggamit jemari Jennie dalam genggamannya.

Dan hal itu kini membuat wanita itu menatapnya dengan sorot mata yang sangat dalam.

Hazel cokelat Lalisa selalu meneduhkan.
Menyiratkan cinta yang nampak jelas tanpa kepura-puraan. Dan hanya ditujukan untuk dirinya seorang.
Jennie lantas mengangguk pelan, dengan senyuman yang tenang.

"Aku selalu percaya padamu, Lili. Tapi apakah salah jika diawal pernikahan kita ini, aku ingin menghabiskan banyak waktu denganmu? Apalagi selama berbulan-bulan sebelumnya, kita benar-benar terpisah."

"Aku tahu. Aku juga menginginkan hal yang sama. Tetapi... Kepergian kita ke Paris untuk menikah kemarin itu, membuatku sedikit khawatir."

"Wae?"

Lisa lantas melepas jemari Jennie dari genggamannya.

Dengan helaan nafas berat, Lisa nampak menampilkan wajah seriusnya.

"Seseorang mungkin bisa saja menangkap kebersamaan kita disana."

"Ya Tuhan, jangan mulai lagi. Kita sudah menikah, Lalisa. Kenapa kau masih saja khawatir dengan komentar orang-orang?"

"Tentu saja kita harus tetap khawatir dengan komentar orang-orang, karena kita masih seorang idol, J. Aku sendiri memiliki karir yang menjadi ujung tombakku untuk menghidupimu."

"What? Apa maksud kalimatmu itu, Lalisa?"

Jennie otomatis menautkan alisnya setelah ucapan Lisa tersebut.
Dan Lisa mengerti arti mimik wajah itu.
Istrinya pasti salah paham tentang apa yang diutarakannya barusan.

"Kau lebih memikirkan karir daripada aku yang sudah resmi menjadi istrimu ini? Seriously?"

"No, baby, no. Kau tahu persis aku bukan orang seperti itu."

"Lalu jelaskan apa maksudnya??"
Jennie semakin mengangkat suaranya karna emosi yang mulai terpancing.

"Oke, take it easy. Listen,.. Lay Oppa memberitahuku jika ada mobil yang membuntutiku terus menerus."

"Huh? Who is that?"

"I still don't know. Tetapi setiap aku menuju kantor, Lay Oppa mendapati mobil yang sama, terparkir diluar gedung. Itu sudah terjadi dua kali dalam seminggu ini. Kau tahu kan, Lay Oppa selalu mengecek hasil cctv tiap seminggu sekali?"

Preuve d'amour (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang