"Jennie Kim, maukah kau terima cincin ini? Sebagai tanda aku telah memintamu untuk menjadi istriku?"
Jantungku berdegup begitu kencang sampai rasanya aku tak bisa mendengar suara yang lain selain suara detak jantungku sendiri.
Lalisa berlutut di hadapanku dengan sebuah cincin indah yang ia sodorkan.
Senyuman cantiknya yang seperti barbie menghiasi wajah khas Asia-Eropa miliknya.
Aku terpesona dengan segala yang ia lakukan saat ini didepanku.
Bagaimana mungkin ada sesosok manusia nyaris sempurna seperti dia, yang kini sedang melamarku?
Apa aku sedang bermimpi?
Kumohon Tuhan, semoga ini bukan mimpi.
Atau jangan biarkan aku terbangun, atau semua ini akan hilang.
Bibirku berkedut dengan saliva yang sulit sekali kutelan di tenggorokan.
Kutatap Lalisa, ia masih dengan senyum tenangnya menanti jawabanku.
Aku hampir tak sanggup berkata apa-apa, padahal sudah tentu aku akan menjawab 'ya'.
Dan dalam detik selanjutnya, ia yang mungkin sudah tak sabar menunggu jawabannya, akhirnya meraih jemariku tanpa izin.
Dengan gerakan yang begitu lembut ia sematkan cincin itu di jari manisku.
Aku terpaku dengan debaran jantung yang semakin tak bisa kukondisikan.
Saat akhirnya ia menyunggingkan senyum karna telah berhasil menyematkan cincin ini di jariku.
Bibirku yang kelu masih tetap membisu, dan hanya bisa memandangi kilauan dari cincin itu.
"Karna kau sudah memakainya, itu artinya kau sudah menerimanya, Nini." ucap Lisa kemudian dengan senyum teduhnya.
"Lili, apa ini serius?"
Tanyaku masih tak percaya."Apa yang kau ragukan lagi, sayang?"
Dengan tanpa bisa kutahan lagi, air mataku akhirnya menetes.
Rasa haru yang begitu besar karna Lisa menatapku dengan keyakinannya.
Mengusap pipiku lembut seolah hanya aku wanita yang ia puja.Dalam sepersekian detik aku hanya fokus pada tangisanku.
Dan Lalisa otomatis menangkup wajahku agar aku lebih tenang."Baby, kenapa menangis, hm?"
"Aku tidak percaya akhirnya kau melakukan ini... This is so precious to me..."
Masih dengan tangisanku yang meledak sempurna, aku bagai anak kecil yang malah membuatnya tertawa.
Lalisa akhirnya berdiri, dan meraih tubuhku untuk masuk kedalam pelukannya.
Harum khas tubuh jangkungnya yang selalu menjadi tempat ternyamanku, praktis membuatku menangis tak henti sambil memeluknya.
Dan lagi-lagi ia tertawa.
Namun tawa renyahnya itu diiringi dengan belaian lembut pada rambut panjangku.Biar sajalah!
Aku tidak peduli dengan reaksiku yang memalukan ini.
Nyatanya perasaanku terlalu bahagia untuk kulukiskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Preuve d'amour (End)
RomanceIt's a simple love about gxg. Dan yang sederhana itu bisa berubah menjadi rumit jika dituntut pembuktian. Jangan berharap pula, kau bisa dengan mudah menentukan hatimu berjalan kemana. Sekalipun kau sudah mendapatkannya, sejauh apakah kau mampu menj...