William sibuk mendata latar belakang para Auror sedangkan Aline duduk di sofa santai ruangan pria itu dengan rambut yang di gulung dengan pensil memainkan bolpoin di tangan nya. Pandangan mata nya mungkin ke arah kertas, tapi pikiran nya terus saja berkelana tentang apa maksud dari tatapan aneh pria itu.
"Hara Juga Gryffindor?" William tersenyum kecil lalu menggeleng pelan, "Pantas saja, dia sedikit ganas."
Aline menarik nafas lalu menatap ketua nya, "Kenapa kita tidak mencari Sir All dan menanyakan siapa yang ia biarkan masuk ke dalam penyimpanan ku?"
William diam sejenak lalu berbalik menatap anggota nya, "Kau lupa dia sangat tertutup dalam hal itu? Dia hanya akan mengatakan nya jika ini adalah kasus resmi."
Aline mendengus kesal lalu menyandarkan tubuh nya ke sofa, "Lagipula, yang akan menjadi tersangka hanya Oliver. Hanya dia Gryffindor yang menjadi ketua Departemen."
"Satu hal lagi." William kembali berbalik, "Seseorang akan di izinkan masuk jika mempunyai alasan yang sangat penting. Jadi," William diam sejenak. "Mungkin saja bukan ketua Departemen yang mencuri nya."
"Atau mungkin kau?"
"Apa?"
"Tidak." Aline kembali menegakkan duduk nya dan mulai fokus pada kertas yang ada di tangan nya. Ia melirik ke arah pria itu, ia terlihat terkejut dengan perkataan nya sebelum akhirnya kembali melakukan kegiatan awal nya.
Aline menggertakkan gigi nya.
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.
"Lily? Kau belum tidur, sayang?" kaget Aline saat ia sedang mengerjakan tugas nya di meja mini bar dengan bantuan cahaya lampu remang-remang di atas nya melihat seorang gadis cantik melangkah turun dari tangga kamar anak-anak nya.
Gadis manis itu tersenyum kecil dan berjalan mendekat, ternyata ia membawa secangkir teh lalu meletakkan nya di atas mini bar. "Aku membuatkan Aunty teh."
"Terimakasih, sayang." Aline tersenyum manis, "Apa kau mimpi buruk? Kau bisa tidur bersama Aunty."
Lily menggeleng pelan sembari duduk ke atas kursi di depan Aline, "Aku hanya ingin menemani mu."
"Menemani ku?" Aline terkekeh pelan sembari menatap ke arah jam dinding. "Ini sudah jam 2 pagi, sayang."
Lily ikut tersenyum, "Peter pernah bilang," Aline mematung seketika. "Bahwa dia ingin ada seseorang yang bisa menemani ibu nya ketika lembur bekerja."
Aline menelan ludah nya kasar lalu mencoba untuk tersenyum, "Dia anak yang perhatian, bukan?"
"Aku tahu maksud nya," Lily melipat tangan nya di atas meja, "Dia ingin kau mendapatkan pasangan yang bisa menemani mu."
Lily tersedak kecil, "Kau sudah tahu tentang masalah ini, Lily—"
"Tapi," Lily memotong nya. "Walaupun aku mendengar nya berkali-kali bahwa dia ingin kau mendapatkan pengganti headmaster, aku tetap melihat nya," gadis itu tetap tersenyum, "Aku melihat bagaimana dia menyayangi Ayah nya."
"Tidak hanya dengan Peter tapi juga dengan Bell dan kau, Aunty." Senyum Lily mengembang hingga mata nya menyipit membentuk bulan sabit. "Kau masih mencintai suami mu 'kan?"
Aline terdiam, jantung nya melemah, mata hijau nya menatap wajah manis dari anak sahabat nya ini. Lily mengingatkan nya pada diri nya saat berumur lima belas tahun yang di paksa dewasa tapi demi Tuhan, gadis ini sangat lebih dewasa di umur nya yang masih empat belas tahun, pantas saja Peter terlihat sangat membutuhkan nya.
Aline menelan ludah nya kasar, "Bagaimana bisa kau mengatakan nya, Lily?"
"Mata mu tak bisa menyembunyikan nya." balas Lily cepat. "Mata tak seperti lidah, Aunty. Ia tak bisa membohongi perasaan nya."
"Lalu jika aku masih mencintai nya, kenapa aku memilih untuk meninggalkan nya?" tanya Aline.
"Ada dua hal saat kita jatuh cinta, Aunty." Lily menunjuk dua jari nya. "Bertahan, karena kita mencintai nya. Atau pergi, karena kita sangat mencintai nya." Lily kembali melipat tangan nya, "Karena lawan kata dari cinta bukanlah kebencian, tapi pergi meninggalkan. Dan, bukankah lawan kata sering kali terjadi karena ada nya sifat berbanding terbalik dengan kata pertama?"
Lily tersenyum, lagi. "Dan itu posisi mu sekarang. Kau memilih untuk meninggalkan nya, karena kau mencintai nya."
"Aku tidur dulu," Lily turun dari kursi nya dan berjalan menuju tangga namun sebelum naik ke atas, ia berbalik dan menatap Aline yang masih mematung di tempat nya. "Jangan lupa minum teh nya sebelum dingin."
Aline masih di sana, ia merenungi setiap perkataan gadis muda itu. Setiap kata nya mengandung makna yang sangat mendalam yang tidak mungkin di ketahui oleh anak yang baru lahir seperti nya. Tapi jujur, Aline tertampar dengan kalimat nya karena memang setiap kata itu mencerminkan kondisi nya.
Aline meletakkan bolpoin nya dan mengusap wajah nya frustasi, di hening nya malam, dapat terdengar isak tangis wanita itu.
Bagaimana bisa ia menangis hanya karena mendengar kalimat filosofi seorang bocah empat belas tahun? Namun jika kalian memang benar-benar memahami nya, maka kalian juga akan menangis seperti Aline lakukan.
Aline menarik nafas panjang di sela isakan tangis nya, "Kau benar, aku masih mencintai nya."
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.
"Apa kau menikah dengan gadis lain, Tuan Severus?"
Aline menoleh ke arah pria itu, ia menatap tetua sedikit mendongak karena mereka duduk secara melayang di sana. Itu adalah pertanyaan yang selalu di ulang oleh para tetua, mungkin itu juga yang membuat mereka ragu dengan keputusan yang akan mereka ambil.
"Yes, sir."
"Dan atas perintah mu, Nona Aline?"
Aline kembali menoleh ke depan bersamaan dengan Severus yang juga menoleh ke arah nya.
Aline mengangguk sekali, "Yes, sir."
Ke tujuh tetua itu menarik nafas panjang secara bersamaan dan kemudian saling berbisik, membicarakan masalah yang mereka hadapi dan membiarkan para wartawan melancarkan kilatan cahaya dari kamera yang menyilaukan mata. Setelah lama berbisik, mereka kembali menatap kedua pasangan ini.
"Apa kalian masih menginginkan hubungan ini, Tuan dan Nona?"
Aline diam, biasa nya ia langsung cepat menjawab 'Tidak' tapi entah kenapa kali ini ia malah menunduk, terlihat tak yakin dengan diri nya lalu tanpa sadar menoleh ke samping, lebih tepat nya ke arah Severus yang menatap lantang ke arah tetua dan berkata,
"Tidak."
D E G.
Aline merasakan hati nya di tusuk begitu saja membuat dada nya terasa sesak dan nafas nya tersekat. Inikah yang di rasakan pria itu saat ia dengan lantang mengatakan kata yang sama? Ada apa Aline? Kenapa dengan diri mu? Jangan karena omongan bocah yang membuat mu menangis kau tidak berpegang teguh dengan keputusan mu.
Semua tatapan ke arah Aline yang belum memberikan jawaban apapun. Perlahan, ia kembali menatap tetua tersebut dan dengan suara yang bergetar,
"Tidak."
"Baiklah, pertemuan selanjut nya akan menjadi pertemuan yang terakhir. Yang berarti, itu akan menjadi penentuan hubungan kalian."
Saat mereka menghilang saat itu juga semua orang heboh memotret dan ribuan kertas juga bolpoin terbang mengarah ke mereka. Semua berebut melemparkan pertanyaan.
Aline berdiri, seperti biasa, mereka akan berpas-pasan saat akan keluar. Namun kali ini, Severus memilih untuk tetap melangkahkan kaki nya melewati ribuan wartawan yang menggila. Sedangkan Aline? Ia mematung.
T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
The Soul.
FanfictionPasangan jiwa mu tidak akan tertukar dengan jiwa manapun. Benarkah? Apa yang terjadi setelah berakhir nya takdir benang merah dan mereka kembali bersama hingga mempunyai keturunan. "Kau Ayah-" Wajah Peter terlihat sangat menyeramkan, "-Terburuk y...