"Aku kekasih mu, huh?"
"Menerima ajakan duduk bersama mantan suami, huh?"
Aline menghela nafas panjang lalu berbalik menatap pria itu, saat ini mereka sedang ada di sungai tengah hutan dan mencoba mencari lapangan Quidditch di sini. "Tetap saja, dia Ayah dari anak-anak ku."
William mengerutkan kening nya, "Bukankah seharus nya kau berterima kasih? Aku membantu mu dari gadis itu!"
Aline memutar bola mata nya malas sembari menggelengkan kepala nya samar dan kembali berbalik melangkahkan kaki menyusuri sungai. "Aku tak perduli dengan gadis itu."
William tersenyum menggoda, "Benarkah? Tapi kau terlihat sangat ingin balas dendam dengan nya."
"Shut up, Sir."
William terkekeh geli lalu berjalan mengikuti Aline di belakang nya. Sesekali ia memperhatikan arus air yang mengalir dengan tenang dan beberapa ikan yang bermain riang hingga akhirnya mereka sampai di sebuah lapangan yang terletak di tengah hutan, terlihat bersih, yang arti nya, seseorang baru bermain di sini beberapa hari yang lalu. Lapangan ini terlihat hidup, mungkin sekelompok orang menjadikan tempat ini sebagai favorit nya.
"Bagaimana bisa ada lapangan Quidditch di tengah hutan?" heran William. "Aku masih mengira wanita gendut itu berbohong."
Aline tak menjawab dan terus berjalan hingga masuk ke sebuah ruangan di bawah kursi penonton, ini membentuk lorong dengan banyak pintu berbaris. Mereka kembali melangkah memutari lorong tersebut sampai menemukan sebuah pintu, yang bertuliskan, 'Oliver Wood.'
Aline menatap William, pria itu menatap nya untuk meyakinkan. Barulah Aline berani meraih kenop pintu dan mendorong nya pelan. Mereka di hadapkan ke sebuah kamar dengan beberapa buku, meja kecil serta kursi.
"Oliver tidak pernah bercerita tentang tempat ini sebelum nya." Aline melangkah menuju rak buku, membaca satu per satu judul nya. Termasuk William, ia juga sibuk mengecek setiap sudut ruangan ini.
Aline duduk di kursi sana, ia antara percaya dan tidak. Senior nya, pria itu terlalu baik untuk di curigai. Ataupun William, ketua nya sekarang, pria itu sudah banyak mengorbankan hal besar demi diri nya. Aline tidak tahu, siapa yang berani membuat diri nya bimbang dan menjadikam dua pria penting dalam hidup nya tersangka di balik kasus ini.
Aline menarik nafas panjang, ia bersandar di kursi. Akhir-akhir ini, pikiran nya kalut. Ia masih belum bisa mengobati luka yang menganga lebar setelah perpisahan nya dengan pria itu, beberapa malam ia tidak tidur karena memikirkan nya di tambah lagi keadaan Madam Pomfrey yang tidak sehat namun ia tak bisa mendapatkan waktu luang untuk mengunjungi nya.
Aline seperti nya akan hancur tak lama lagi.
"Hell, dia menyimpan roti basi."
Aline terkekeh geli, "Akhirnya kau tahu rasa mengecek kamar seseorang kan?"
William mendengus sebal, tentu saja ia tak pernah melakukan ini, dia ketua tim yang selalu di andalkan dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Lalu kenapa ia harus repot-repot mengotori tangan nya jika ia punya anggota yang terpilih dari yang terbaik.
Tapi saat ini, ia menurunkan harga diri nya demi Aline dan wanita itu hanya duduk di kursi sambil melamun. Menyebalkan sekali
Aline terkekeh pelan melihat tingkah pria itu lalu kembali bersandar, perlahan pikirkan nya kembali di rebut oleh satu hal. Hal yang membuat nya masih penasaran hingga saat ini.
Tatapan pria itu.
Benar-benar aneh, dia baru menyadari nya beberapa minggu yang lalu. Mata nya berubah-ubah, seperti ingin menunjukkan jati diri nya. Dan seperti nya, pria itu sadar tentang keanehan mata nya itu sebab nya ia memalingkan wajah nya setiap kali Aline menatap nya intens dan dalam.
Beberapa kali juga Aline menangkap mata nya berubah menjadi sayu. Aline tahu benar, tatapan mata nya seperti elang, tajam dan tepat. Tapi akhir-akhir ini ...,
Tapi kenapa Nancy tidak menyadari hal itu? Dia bahkan terlihat biasa saja saat melihat wajah pucat suami nya. Hei, walau sudah berpisah tapi Aline hidup dengan pria itu selama lima belas tahun bahkan hampir enem belas tahun. Ia pasti dapat melihat betapa pucat wajah pria itu walau ia berusaha untuk menutupi nya.
Sebenarnya, apa yang terjadi?
"Aline!" William berjalan tergopoh-gopoh melewati barang yang sudah ia berantakkan sambil membawa selembar kain yang Aline yakini adalah sapu tangan.
"Jangan bercanda, itu cuman—"
"THIS!" William menunjukkan sebuah cairan berwarna biru kental menempel di sapu tangan tersebut. Aline mengerutkan kening nya, ramuan nya berwarna biru. Aline mendekatkan kepala nya lalu tangan nya terangkat hendak menyentuh cairan tersebut.
DEGH—!
Aline mundur beberapa langkah tepat setelah menyentuh nya. Nafas nya tersendat, dada nya naik turun, mata nya berair, punggung nya menyentuh dinding lalu turun ke bawah sambil menangis.
"Aline?" William keheranan. "Aline!" William langsung berjongkok dan menarik kepala wanita itu ke dalam dekapan nya yang hangat, mencoba menenangkan isak tangis nya yang terdengar histeris.
"Aline, ada apa?" William membelai rambut nya lembut, namun sama saja, tidak ada perubahan, wanita itu masih saja menangis.
Aline terisak kencang, "Ini tidak mungkin, Sir ...!"
"Aline ...," William memandangi nya dengan kasihan.
"Itu ..., itu ...," Aline juga berusaha menenangkan tangis nya tapi tetap saja, ia terlalu sedih untuk kenyataan ini.
"Tenanglah." William mengusap punggung nya lembut. "Aku di sini, kau akan baik-baik saja."
Aline memejamkan mata nya, entah kenapa ini terlalu sakit untuk di percayai.
"Itu ...," Aline menelan ludah nya kasar, "Cairan ramuan ku."
T B C
KALO KOMEN NYA GA TEMBUS 100, GA LANJUT, BYE.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Soul.
FanfictionPasangan jiwa mu tidak akan tertukar dengan jiwa manapun. Benarkah? Apa yang terjadi setelah berakhir nya takdir benang merah dan mereka kembali bersama hingga mempunyai keturunan. "Kau Ayah-" Wajah Peter terlihat sangat menyeramkan, "-Terburuk y...