epilog

1.4K 160 160
                                    

Sudah empat tahun berlalu, sejak kematian Severus yang menggemparkan seluruh dunia penyihir dan kisah cinta mereka yang menjadi banyak perbincangan orang-orang. Masih berbekas di ingatan semua orang, bagaimana cinta nya pria yang dulu nya di kenal dingin dan tak berperasaan itu pada gadis yang terpaut jauh di bawah nya.

Semua orang mengucapkan belasungkawa dan ucapan semangat, tapi itu tidak cukup menyembuhkan kesedihan Aline.

Kesehatan Aline menurun tiap tahun, itu membuat William memaksa nya untuk berhenti bekerja. Dia menjadi atasan yang sempurna, menggantikan sir All yang sudah waktu nya pensiun.

Walau sudah menikah, William tak pernah menyentuh Aline seujung kuku pun, ia sangat menghormati wanita itu dan mengerti, cinta nya hanya untuk seorang Severus Snape. William sangat memegang amanah yang di berikan pria itu untuk nya, bahwa dia adalah satu-satu nya pria yang bisa menjaga wanita dan anak-anak nya. Itu sebabnya, William hanya akan tidur di samping Aline jika sakit nya kambuh, selebihnya, ia akan tidur di sofa ruang tamu.

William juga menggantikan peran Ayah bagi Bell dan Peter, dan itu tidak mudah, tapi dengan sabar ia membimbing kedua anak istri nya itu. Sepenting apapun pekerjaan nya, Aline dan kedua anak nya tetaplah menjadi prioritas hidup nya.

Sama seperti saat ini, William melangkahkan kaki nya melewati lorong rumah ketika mendengar Aline kembali muntah darah. Itu selalu terjadi, semenjak kematian pria yang di cintai nya. William mendorong pintu, saat itu juga ia melihat punggung Aline yang sedang duduk di kasur membungkuk dan memuntahkan darah kental itu ke lantai.

William sigap mengambil sapu tangan nya dan melesat cepat ke arah kasur, "Aline ...," William menghapus jejak muntahan itu di wajah Aline, "Kau sudah memakan obat nya?"

Aline mengangguk lemah, lalu meneguk minum yang di sodorkan William dengan wajah penuh khawatirnya.

William menoleh ke arah muntahan Aline, darah nya semakin banyak dan semakin kental membuat pria itu semakin khawatir. "Sakit mu semakin parah Aline, kau harus di bawa—"

Aline menahan kemeja putih William saat pria itu hendak mengambil telpon nya, Aline tersenyum kecil lalu menggeleng pelan. "Apa anak-anak sudah kembali?"

William diam sejenak lalu menarik nafas panjang, "Mereka sedang di perjalanan."

Aline tersenyum kecil di bibir nya yang sudah menguning dan wajah nya yang sudah putih pasi, "Ku rasa itu tidak akan sempat."

William menelan ludah nya kasar, "Aline, apa maksud mu?" ia mendudukkan tubuh nya di atas kasur menatap wanita itu sendu.

Senyum nya semakin lebar walau tetap masih di hitung senyuman kecil, ia menatap ke depan dengan sangat senang seakan-akan melihat seseorang yang sangat ia rindukan. William mengerutkan kening nya heran, ia menoleh ke arah tatapan Aline namun hanya menemukan kursi kosong di sana.

"Kau tahu?" Aline berbicara, "Aku bermimpi pria itu mendatangi ku tadi malam."

Atensi William kembali tertarik, "Itu hanya mimpi."

"Tidak," manik hijau Aline menatap manik milik William, "Aku senang bisa melihat nya kembali."

"Aline ...," William meraih tangan dingin Aline dan menggengam nya hangat. "Bell dan Peter masih membutuhkan mu ...,"

"Aku tahu," Aline menatap ke depan. "Itu sebabnya aku akan meminum obat ku." Aline menoleh ke arah nakas dan hendak mengambil botol kecil namun lebih dulu di rampas oleh William, ia menatap wanita itu intens lalu menarik nafas panjang, ia mengeluarkan dua pil kecil dan memberikan nya pada Aline juga menyodorkan air minum nya.

Aline memakan dua pil itu sekaligus dan menelan nya dalam sekali tegukan. Setelah menelan nya, mata nya mulai terlihat mengantuk, saat itu William sigap mengambil posisi di samping nya agar ia bisa tertidur di bahu nya.

The Soul.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang