"Nyatanya seburuk apapun sikapnya, mereka akan tetap menjadi keluarga. Keluarga yang seutuhnya." — Zikri Rafasya
—————————————
Zena masih tidak menyangka sampai saat ini. Gadis itu sedikit syok sembari memegangi dadanya. Wajahnya mungkin menunjukkan ketidak percayaan, tetapi respon hatinya sungguh bertolak belakang. Detik itu juga hatinya terasa hangat, seakan secercah harapan kembali terbit untuk memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki.
Baru saja beberapa menit yang lalu, Zena mendapat telepon dari Zikri. Cowok itu memberi kabar bahwa Ayah-nya sudah pulang tugas dari Palembang dan ingin makan malam bersama keluarga Zena. Hal itu sontak membuat Zena terkejut, tentu saja. Siapa yang tidak terkejut jika Ayah dari laki-laki yang kalian suka mengajak makan malam sembari pertemuan keluarga?
"Mimpi apa gue semalem?!" pekik Zena.
Setelah beberapa minggu yang lalu Zena memutuskan untuk memperbaiki semuanya. Zena dan Zikri semakin dekat saja. Dua sejoli itu seakan tidak bisa dipisahkan oleh apapun. Kedekatan mereka menjadi wara-wiri di sekolah. Banyak yang penasaran sebenarnya apa yang terjadi sehingga dua hati yang mulai menemukan jalannya masing-masing kini kembali berjalan di satu arah.
Zena dan Zikri tidak pernah menanggapi. Mereka berdua hanya fokus pada apa yang menjadi tujuannya.
"Aduh gue harus pake baju apa ya nanti?"
Zena berjalan ke sebuah lemari besar, tumpukan baju dengan berbagai warna redup tertata rapi di sana. Zena meneliti dari tumpukan atas sampai bawah. Gadis itu tersenyum miris saat mendapati bahwa bajunya tidak ada yang cocok untuk ia kenakan saat bertemu dengan keluarga Zikri nanti.
"Perasaan gue ada beli dres deh waktu itu, tapi ke mana, ya?"
Zena kembali meneliti tumpukan baju di hadapannya. Tangannya kini berkeliaran bebas membabi buta baju-baju tidak bersalah itu.
"Lah masa ilang? Gue masih inget kok waktu itu gue gantung di sini."
"Apanya yang digantung?"
Zena sontak membalikkan tubuhnya saat ada suara seorang perempuan mengintrupsinya. Zena tersenyum tidak berdosa saat melihat keadaan kamarnya yang sudah tidak bisa lagi dikatakan jika itu adalah sebuah kamar.
"Eh Mamah, tenang Mah pokoknya Mamah harus tenang. Kalem jangan dikeluarin esmosinya, nanti Nana beresin lagi semuanya. Janji!" cerocos Zena saat mendapati tatapan Bu Zulfa yang sangat datar.
"Cari apa sih?" tanya Bu Zulfa.
"Anu Mah dres yang waktu itu Nana beli ke mana ya kok nggak ada? Nana masih inget kok waktu itu Nana gantung di dalem lemari sini."
"Dres yang mana emang kamu punya dres?"
Plak, ucapan seorang Ibu memang tidak pernah salah.
"Ya punyalah Mah ya ampun Mamah kok tega banget sama anaknya. Gini-gini Nana cewek tulen loh, Mah," ujar Zena mempoutkan bibirnya.
"Iya cewek tulen yang isi lemarinya cuma celana jeans, hoodie sama kaos kedodoran," cibir Bu Zulfa.
"Itu namanya style Mah."
"Style kok kayak gitu, kamu itu cewek Nana."
"Setiap orang punya style nya masing-masing aduh please deh Mah nggak usah bahas itu mending sekarang bantuin Nana cari dresnya!"
"Nggak ada, udah Mamah kasih ke tetangga," celetuk Bu Zulfa membuat jantung Zena seakan berhenti berdetak saat itu juga.
Zena mengusap wajahnya kasar—tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan sang Ibu. "Mengapa Anda tega sekali wahai Ibu Zulfa?" tanya Zena dramatis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZENATA
Fiksi Remaja[SELESAI] Zenata Soraya. Siswi cantik yang disegani di sekolahnya-SMA Houten. Barbar dan nakal adalah hal yang lumrah di kehidupannya. Menjahili guru adalah hobinya jika di sekolah. Tiba saatnya seseorang datang dan ingin memasuki kehidupan Zena. M...