44. Sebuah Keputusan

492 62 47
                                    

"Orang spesial tidak selamanya ada. Ia hanya singgah kemudian pergi saat kamu sedang sayang-sayangnya." — Zenata Soraya

*****

SELAMAT MALAM MINGGU!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


SELAMAT MALAM MINGGU!

SELAMAT MEMBACA!

————————

Tidak ada pesan tidak ada telepon tidak ada kabar sama sekali. Sudah dua minggu lamanya Zena seperti tidak memiliki seseorang yang spesial. Cewek itu menjalani hari-harinya seperti dulu. Pacar? Persetan dengan sebutan itu. Zena sudah tidak peduli.

Hubungannya dengan Zikri sudah tidak ada tujuan. Satu sama lain egois, tidak ada yang mau mengalah. Bukankah dalam sebuah hubungan harus berjalan beriringan? Seperti layaknya sepasang sepatu yang selalu Zena umpamakan. Jika salah satunya pergi maka yang ditinggalkan sudah tak berarti.

Lalu sekarang Zena harus apa? Haruskah ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya? Harus ia yang mengakhiri terlebih dahulu?

"Ngelamun aja terus sampe muka lo keriput," tegur seorang cowok. Tidak hanya seorang, tetapi tujuh orang sekaligus. Mereka duduk melingkari Zena yang tengah menyangga dagunya.

"Ngelamun nggak bakal nyelesain masalah," ujarnya lagi.

"Ngelamun nggak bakal buat kecantikan lo luntur," timpal cowok satunya lagi.

"Ngelamun nggak bakal bikin lo sukses."

"Iyalah, kalau mau sukses ya usaha! Bukan ngelamun," sahut Zena yang akhirnya buka suara.

"Kalian ngapain sih ke sini? Jemi, lo kenapa di sini? Bukannya harusnya lo latihan buat olim... Pia... De," tanya Zena gugup. Ia menggigit bibir bawahnya saat mengatakan 'olimpiade'.

Zena sedang butuh waktu sendiri. Maka dari itu mumpung hari libur seperti ini, Zena pergi ke rooftof di pusat perbelanjaan di tengah kota. Ingat, hanya seorang diri. Hemi dan Kila yang memaksa ikut pun tak Zena hiraukan. Tapi, kenapa tiba-tiba tujuh cowok bobrok ini malah menghampirinya? Benar-benar pengganggu.

"Kan gue udah bilang, masalah Matematika itu gampang. Sekali buka buku aja gue langsung hafal," balas Jemi sombong. Bukan sombong, tapi memang faktanya seperti itu.

"Sorry, gue nggak denger. Lagi baca buku," sahut Oki.

"Gue juga nggak denger, lagi pake sempak," timpal Tony.

Zena hanya menghela nafas lelah. Cowok-cowok di hadapannya ini memang benar-benar bobrok.

"Udahlah, Ray. Lo jangan ngelamun terus. Udah gue bilang, kan, dulu kalau udah nggak bisa dipertahankan ya lepaskan daripada sakit ke lo nya, nggak tega gue liat lo kayak mayat hidup," ujar Oki pada Zena.

ZENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang