43. Between

479 64 54
                                    

"Jika sudah seperti ini aku bingung. Antara harus sedih atau bahagia. Keduanya terlalu berdampingan, sampai aku tak bisa membedakan. Mana yang harus aku rasakan terlebih dahulu." — Zenata Soraya

*****

SELAMAT MEMBACA!

———————

"SKAK!"

Seruan Zidan menggema di ruang keluarga. Cowok itu mengembangkan senyumnya bangga serta menepuk-nepuk dadanya. Matanya menatap Zena meremehkan.

"Mana Zena yang biasanya selalu nyekak Aa duluan?" tanya Zidan sombong.

"Menang nggak sengaja aja sombongnya sampe ke segitiga bermuda," cibir Zena.

"Mana ada nggak sengaja!" seru Zidan tak terima. "Lo nya aja yang emang noob!" ejek Zidan.

"Noob? Gue nggak salah? Yang biasanya menang lawan Papa itu siapa?" tanya Zena meluruskan fakta.

Zidan langsung terdiam. Cowok itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Nah, nggak bisa jawab, kan?" ledek Zena tersenyum meremehkan.

"Iya iya udah gue ngalah, yang tua harus ngalah pokoknya," ujar Zidan menyerah dengan wajah frustasinya.

"Nggak usah bangga kalau baru menang sekali aja," tambah Zena lagi.

Sudah bisa ditebak bukan dua Kakak beradik itu sedang bermain apa?
Catur. Ya, benar sekali. Zena dan Zidan memiliki hobi bermain catur sejak kecil. Papanya yang mengajarkan. Satu kali percobaan, Zena langsung bisa hafal semuanya. Dari mulai nama, penempatan, hingga taktik mengelabui musuh.

Bahkan, Papanya pun sering dikalahkan olehnya. Apa kabar dengan Zidan? Cowok itu selalu kalah dari Zena. Baru satu kali ini saja ia menang. Dan itu pun sombongnya sampai kelewatan.

"Ayo main lagi!" ajak Zena.

Zidan menaikkan sebelah alisnya. "Emang sanggup kalah lagi?"

"Ulah sok loba omong jeung loba gaya, hayu der keun ayeuna oge."

"Mun eleh ulah ceurik."

"Loba acet, A!"

Zena kembali menata pasukannya, ia memegang warna hitam kebanggaannya. Menurutnya, warna hitam itu sumber kemenangan.

"Karena gue yang menang, jadi gue duluan," ujar Zidan sambil memajukan dua pion.

Zena hanya tersenyum tipis. Cewek itu kembali ke mode serius.

Hening. Keduanya sudah mulai larut dalam permainan.

"Sorry, A, Nana makan ya bentengnya," ucap Zena meminta izin disertai kekehan yang menjengkelkan di telinga Zidan.

"Makan aja, gue masih bisa jalan tanpa satu benteng," balas Zidan enteng tanpa beban.

"STER!" seru Zena.

Mata Zidan membelalak. "STER DARI MANA?"

Telunjuk Zena mengarah pada bentengnya yang berhadapan langsung dengan ratu dari pasukan Zidan. "Aa nggak liat ini ratunya di depan benteng Nana?"

"GUE NGGAK FOKUS! ULANG-ULANG!"

"Mana bisa—"

Ddrrtt ddrrtt

Ponsel Zena bergetar, seketika mengalihkan perhatian dua Kakak beradik yang sedang asik-asiknya berseteru.

"Siapa?" tanya Zidan.

ZENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang