8. Perhatian Kecil

951 98 7
                                    

"Bukan siapa-siapa tapi kenapa harus membuatku bertanya ada apa?" — Zenata Soraya

"Kebahagiaan temen-temen gue merupakan kebahagiaan gue juga." — Zenata Soraya

——————————————


Hari ini Zena kembali bangun siang. Ini disebabkan karena ia tidak bisa tidur semalam. Otaknya selalu berputar dan mengajaknya untuk memikirkan kejadian yang dilakukan kemarin sore dengan Zikri.

"Kesiangan lagi kesiangan lagi," keluh Zena saat melihat angka di jam tangan berwarna merah maroon yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Zena sudah sampai di depan gerbang sekolah. Dan seperti biasa keadaan sangat sepi karena semuanya sedang berada di lapangan untuk melakukan rutinitas upacara penaikan bendera setiap hari Senin.

"Gerbang dikunci masa iya gue lewat samping lagi?" tanya Zena pada dirinya sendiri.

Tapi, mau tidak mau Zena melangkahkan kakinya menuju pintu samping yang sengaja ia sediakan untuk anak-anak yang sering berangkat kesiangan ataupun ingin membolos.

Itu sebenarnya bukan pintu atau gerbang. Melainkan sebuah pagar pembatas yang sengaja Zena hancurkan sehingga menjadi sebuah lubang besar yang cukup untuk menjadi akses keluar masuk murid-murid nakal SMA Houten.

Baru saja langkah yang kelima, tasnya sudah ditarik oleh seseorang dari arah belakang sehingga membuat Zena sedikit oleng. Tapi untung saja Zena masih bisa menyeimbangkan bobot tubuhnya.

Zena berdiri tegap sambil menatap orang yang telah menarik tasnya tadi. Senyuman khas Zena jika sudah terpojok menghiasi wajahnya.

"Eh Pak Budi ganteng, kita ketemu lagi," kata Zena sambil cengengesan.

"Kamu lagi kamu lagi. Bosan Bapak lihat kamu terus, nggak pernah ada habisnya!" sentak Pak Budi frustasi menghadapi segala kenakalan Zena.

"Saya bukan gado-gado Pak, makannya nggak ada habisnya," balas Zena asal.

"Ikut Bapak sekarang!" Pak Budi menarik tangan Zena memasuki area sekolah. Ia membawa Zena ke arah lapangan. Zena yang menyadari bahwa dirinya sedang digiring kelapangan tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Aduh Pak saya kebelet belum kencing dari kelas dua SMP," celetuk Zena sambil memegangi kepalanya.

"Kamu kalo mau cari alasan yang logis! Mana ada orang nggak kencing sampe empat tahun. Mau kencing itu pegangin perut biar ketahan, ini malah megangin kepala! Dasar murid koplak!" cecar Pak Budi kesal dan marah bercampur menjadi satu.

Zena menghela nafasnya kasar. Ia hanya bisa pasrah tangannya ditarik-tarik oleh Pak Budi. Zena sudah tidak peduli jika nanti dipermalukan di depan teman-temannya. Itu sudah biasa mungkin. Lagipula, siapa yang berani menertawakan Zena nantinya? Kalau pun ada yang berani, siap-siap saja mengalami tekanan batin tiga bulan berturut-turut.

Semua mata tertuju pada Zena ketika gadis itu digiring Pak Budi ke tengah lapangan. Mereka tau jika seorang Zena si kembang sekolah sering terlambat. Mereka sudah biasa akan hal ini.

Zena berdiri di depan tiang bendera menghadap ke seribu lebih siswa-siswi SMA Houten. Dengan baju yang dikeluarkan, tidak memakai dasi, sepatu berwarna putih, kaos kaki hitam, dan rok ketat lima cm di atas lutut. Menimbulkan beberapa pujian yang terdengar histeris di telinganya.

Wahh si Raya cantik banget dah

Nggak kuat abang liatnya, bawaanya nafsu terus

ZENATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang