Langkah kaki Raina terhenti di depan ruang tata usaha sekolah. Perempuan yang sekarang menggerai rambut sepinggang nya ini berusaha untuk bisa mendengar percakapan di dalam sana dengan jelas.
"Tapi kalo nanti Raina tanya bapak harus jawab apa, Zaidan?"
Itu suara Pak Sahrul, guru yang berjaga disini. Raina mengerutkan alis, menatap kedua orang yang sedang berbicara melalui celah pintu yang terbuka.
"Bapak bilang aja ini beasiswa kayak biasanya, Raina 'kan pinter. Ya udah pak, saya pamit. Terima kasih."
Zaidan, lelaki yang baru saja berbicara dengan pak Sahrul itu membuka pintu tata usaha, maniknya menatap Raina yang memandang dengan tatapan datar.
"R- rain?" Tubuh Zaidan membeku seketika. Detak jantungnya memompa dengan ritme yang sangat cepat, segera lelaki itu menundukkan pandangan.
Raina menelisik, menatap sekitaran yang ternyata memperhatikan dia dan Zaidan. Raina menarik tangan kanan Zaidan, membawanya ke taman belakang sekolah.
Zaidan tidak menolak, lelaki itu mengikuti setiap langkah Raina yang tergesa. Walaupun perasaan nya sudah tidak enak sejak tadi.
"Bisa jelasin?" Tanya Raina. Keduanya saling berhadapan di taman yang sepi. Zaidan tidak menjawab, lelaki itu semakin menundukkan kepala.
Raina menghembuskan nafas kasar. Mencoba berpikir apa maksud Zaidan. Tadi, hanya penutupan dari pembicaraan yang perempuan ini dengar.
Beasiswa? Hal apa yang bersangkutan dengan beasiswa. Raina memainkan ujung sepatunya, menulis abstrak pada tanah. Pikiran nya terus menerka apa maksud dari kata itu.
Tersadar akan sesuatu, Raina menoleh cepat pada Zaidan yang masih pada posisinya. Seketika kedua tangan Raina mengepal dengan kuat.
"Jadi lo yang selalu bayarin SPP gue?" Raina berbicara dengan nada agak tinggi. Berhasil membuat Zaidan tersentak di tempatnya.
"Gue tanya, jadi lo yang selalu bayar SPP gue? Jawab Kak!" Desak Raina. Sungguh, jika perkiraan nya ini benar Raina tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa pada lelaki di hadapan nya ini.
"Kenapa kalo setiap kita lagi berdua lo selalu mendadak jadi patung? Lo punya mulut kan? Gue juga yakin telinga lo berfungsi. Gak mungkin tiba-tiba lo jadi tuli."
Zaidan masih tidak bergeming, tentu saja membuat Raina semakin murka karena nya. Raina meremas rok abu-abu yang dia kenakan. Raina anggap diamnya Zaidan adalah jawaban.
"Gue gak tau harus nyikapin lo kayak gimana, Kak. Pertama, lo tiba-tiba dateng nunjukin semua derita lo ke gue, dan pengen gue jadi pacar lo. Kedua, sikap lo selalu bikin gue bingung. Ketika dihadapan orang lain lo bersikap seakan-akan kita itu deket. Dan sekarang, gue dapet fakta kalo selama gue selalu nunggak SPP itu lo yang bayar." Ada jeda dalam ucapan perempuan itu. Raina menarik nafas dalam-dalam.
"Gue masih gak paham sama apapun, seakan-akan gue itu bodoh. Kak Arga bilang sama gue kalo lo emang udah suka sama gue sejak kita gak sengaja ketemu waktu malam itu. Lo nguntit gue sejak lama berarti, ya?" Terka Raina. Jelas, mana mungkin Zaidan bisa selalu membayarkan SPP nya selama dia memasuki kelas sebelas. Dan sekarang sudah memasuki semester genap.
Raina memang sudah heran sejak dulu. Ketika dirinya menunggak bayar SPP, dan berniat untuk membayar nya ketika uang perempuan ini sudah terkumpul tiba-tiba saja pak Sahrul mengatakan bahwa Raina mendapatkan beasiswa.
Raina tentu saja selalu bersyukur waktu itu. Namun, semakin ke sini rasanya aneh. Hanya dirinya yang mendapatkan beasiswa atas nama jajaran murid terpintar. Padahal, banyak yang lebih pintar dari Raina tapi tidak mendapatkan beasiswa itu. Raina tahu, karena dirinya mencari tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Aphrodite ✔️
FanfictionKata siapa orang cantik selalu jadi prioritas? Kata siapa orang cantik selalu dapat keberuntungan? Kata siapa orang cantik selalu banyak teman? Apa salah mempunyai wajah cantik dan kepintaran? Orang-orang selalu menyamakan nya dengan dewi cinta d...