[ 50 ] Bahaya.

116 29 0
                                    

Raina menaruh laptop nya di atas meja belajar. Perempuan dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang itu duduk di samping tempat tidur nya sambil mengemasi gitar yang akan dirinya bawa ke cafe.

Selepas mengambil kunci motor yang menggantung, Raina berkaca di depan cermin. Menatap pantulan dirinya yang selalu tampak sempurna dengan tampilan apapun.

Tatapan nya lurus, menatap wajahnya sendiri yang selalu di puji dan di dambakan orang-orang. Raina beralih pada tubuhnya yang di baluti pakaian kasual itu. Bahkan, semua nya sempurna.

Perempuan dengan rambut terurai indah ini menghela nafas panjang, memilih untuk membawa gitar, tas, serta kunci motor nya ke luar kamar.

Raina menutup pintu dan mengunci nya. Perempuan ini berjalan dengan santai di setiap anak tangga yang di pijaki nya.

Laki-laki dengan wajah merah padam yang tengah duduk di sofa berjalan cepat pada kakak nya yang baru saja turun dari lantai atas. Rizki mencengkram kerah baju Raina dan memojokkan nya pada tembok.

Nafas ke dua nya naik turun, memendam amarah satu sama lain.

"Lo setan, Raina!" Rizki menggertakan gigi, menatap kakak nya yang tengah meringis.

"Minggir!" Raina memegang ke dua tangan Rizki yang masih bertengger pada kerah baju nya. "Gue gak ada urusan sama lo!"

Rizki memundurkan langkah, menatap sang kakak yang masih menatap nya dengan tajam. Air mata yang sudah dirinya tahan sejak tadi, turun begitu saja.

Raina menghela nafas, menatap adik nya yang kini tengah menangis sambil menatapnya.

"Kalo lo gak jual sepeda sama laptop, gue gak akan bongkar semua ini ke mama. Seharusnya lo mikir, lo yang salah di sini. Berapa banyak duit yang udah lo keluarin demi Raka? Sedangkan SPP lo aja masih gue yang bayarin!"

Rizki mengepalkan tangan nya, "Lo gak tau arti pertemanan, lo gak pernah bantu orang yang lagi kesusahan karena lo egois! Lo selalu mikirin diri lo sendiri, Raina!"

Raina mengangkat satu alisnya, terkekeh pelan mendengar perkataan Rizki.

"Sadar! lo bayar SPP sama gue, jajan duit gue. Dan sekarang lo bilang kalo gue gak pernah bantu orang yang lagi kesusahan?"

"Itu semua duit papa, bukan duit lo!"

Raina menendang tumit kaki Rizki membuat lelaki itu meringis, tangan nya terkepal kuat ketika kalimat yang selalu adik nya lontarkan itu terdengar.

Selama ini, uang yang selalu dirinya pakai bahkan, untuk memenuhi kebutuhan adik-adik nya adalah hasil jerih payah nya sendiri. Dan Rizki, terus mengatakan jika semua itu adalah pemberian dari papa nya.

"Lo gak pernah denger mama ngeluh masalah duit? Lo tau, Rizki. Papa pulang cuma pengen adu mulut sama mama! Apa lo pernah liat kalo papa ngasih duit sama mama? Enggak, gua lebih tau dari lo! Lo gak tau apa-apa."

"Lo juga tau apa tentang hidup gue, Kak? Gue jual ini itu juga karena ada alesan nya—"

"Sampe rela bikin diri sendiri susah? Laptop, sepeda, motor, apa lo gak pernah mikir susah nya mama beliin itu semua demi keperluan sekolah lo? Lo yang gila, bukan gue, Rahdian!"

Untuk yang kesekian kalinya, Raina mendapati adik nya yang menjual sepeda. Raina melaporkan tindakan adiknya pada ibu mereka. Untuk alasan, perempuan ini sudah menebak.

Uang hasil penjualan pasti akan di berikan pada Raka, teman dari adik nya yang terus terkekang karena sang ayah yang selalu mabuk-mabukan dan berjudi.

Sebelum Rizki berhasil memberikan uang nya pada Raka, mama Risa sudah lebih dulu merampasnya. Dan kini, Rizki lagi-lagi menyalahkan Raina.

Raina memilih mengabaikan adiknya yang masih tetap pada posisi nya. Perempuan ini berjalan menjauhi sang adik untuk segera pergi ke cafe sebelum ibu nya pulang kerja dan mengetahui perdebatan dirinya dengan Rizki.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang