Bau khas rumah sakit yang tidak di sukai perempuan ini dirinya hiraukan. Wajahnya pucat, tatapan nya kosong menatap jendela yang menampilkan langit sore hari.
Sudah satu bulan sejak kejadian hari itu, dirinya di rawat di salah satu rumah sakit yang berada di kota Bandung. Raina tidak mengetahui apapun, bahkan, orang-orang terdekat nya tidak menceritakan kejadian setelah mereka menemukan Raina.
Perempuan yang mengenakan pakaian khas rumah sakit ini tidak tahu bagaimana nasib Dinda dan Davris setelahnya. Walaupun penasaran, dirinya hanya bisa bungkam. Tidak mau mengungkit dan membuat rasa takut itu kembali lagi.
Raina menatap kembali surat pemberian Abian kala itu. Perempuan ini membaca beberapa kata di setiap awal kalimat. Pantas jika Anes menamparnya, perempuan itu ingin menyadarkan Raina dari kebodohan. Namun, dirinya tidak sadar juga.
Dada nya kembali sesak, tangan mungil itu bergetar.
Abian hanya pura-pura peduli padanya. Laki-laki yang sudah Raina anggap sebagai kakak sendiri itu hanya menunjukkan sifat munafik nya dengan sangat baik.
Membuat dirinya kembali merasakan sakit karena persahabatan, membuatnya kembali takut untuk mengenal orang lain.
Dan karena laki-laki itu juga, Raina yang menanggung semua dampaknya dan terenggut nya satu nyawa akibat masalah ini.
Perempuan ini merekam jelas perkataan Dinda. Benar kata perempuan itu, banyak orang yang telah meninggal karena nya. Banyak orang yang terluka dan berduka.
Dirinya adalah pembunuh, Raina yang telah merenggut nyawa mereka. Jika Raina tidak ada, semua nya tidak akan seperti ini. Dia tidak akan mencampuri urusan nya.
"Kak."
Raina tidak menyadari kehadiran adik lelaki nya. Perempuan ini masih menundukkan kepala dengan pikiran yang terus bergelut. Tatapan nya menatap lurus pada kertas di tangan nya.
Rizki menghela nafas panjang, sejak dua minggu setelah Raina sadar, perempuan itu menghiraukan semua orang yang menemui nya dan tidak mengatakan apapun.
Lelaki dengan seragam sekolah dan tas yang masih menempel di punggung nya itu duduk di kursi samping brankar. Menatap kakak nya yang bersender tanpa mengalihkan tatapan nya.
Rizki mengambil tangan Raina untuk di genggam nya, membuat perempuan itu menoleh. Kedua matanya merah, menatap wajah pucat yang membalas tatapan nya tanpa ekspresi.
Rizki mencium tangan kiri Raina dengan kata 'maaf' yang terus dirinya ulang. Lelaki itu menengadah kala air mata nya hampir menetes. Kembali menatap kakak nya, Rizki tersenyum kecil.
Beralih duduk di samping Raina, laki-laki tampan ini menatap wajah kakak nya dengan jelas.
"Gue mau cerita." Tidak ada sahutan, Rizki mengangguk dengan sedih.
"Apa gue boleh ngomong semua ini ke lo?" Tanya nya, Raina mengalihkan pandangan sebagai jawaban.
Tenggorokan lelaki ini tercekat, tidak sanggup untuk mengungkapkan segala kejadian yang sudah terjadi selama sebulan penuh ini.
"Gue minta maaf. Gue gak pernah dengerin omongan lo, harusnya gue sadar sejak awal. Papa gak sebaik yang gue pikirin." Lelaki ini menundukkan kepala nya singkat. "Gue harusnya tau kalo selama ini, semua yang gue dapetin itu dari lo sama mama. Gue malah belain orang yang salah."
"Gue selalu anggap papa orang baik walaupun jelas-jelas dia udah sakitin mama. Gue bodoh karena gak pernah peduli setiap mama ngeluh karena keadaan yang di sebabin sama papa, gue bodoh karena terlalu egois tanpa liat keadaan kita. Gue salah, Kak. Gue goblog karena baru sadar sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Aphrodite ✔️
Fiksi PenggemarKata siapa orang cantik selalu jadi prioritas? Kata siapa orang cantik selalu dapat keberuntungan? Kata siapa orang cantik selalu banyak teman? Apa salah mempunyai wajah cantik dan kepintaran? Orang-orang selalu menyamakan nya dengan dewi cinta d...