[ 27 ] Janji dan harapan.

171 46 3
                                    

Setelah pulang dari cafe, Raina tidak langsung beranjak untuk pergi ke kamarnya. Perempuan ini ikut duduk di sebelah mama Risa yang sedang menonton sinetron kesukaan beliau.

Raina itu sangat suka bercerita, cerewet dan banyak teman semasa kecil. Besar kemungkinan, mama nya ini bisa tau mengenai Zaidan yang mengaku menjadi teman masa kecilnya.

Dan benar saja, mama Risa masih mengingat sosok Zaidan, bocah berumur sembilan tahun yang selalu terlihat murung ketika datang ke rumah ini.

Raina terkejut ketika mendengar bahwa Zaidan sering berkunjung ke sini. Itu artinya, perempuan ini dan Zaidan sangat dekat.

Pancingan ingatan dari mama Risa membuat Raina mengingat kepingan masa lalu. Perkenalan bersama satu anak perempuan dan pertemuan nya dengan Zaidan di gerbang sekolah.

Membantu lelaki itu ketika merasa takut, membantu lelaki itu menyebrang dan yang paling Raina sesali adalah perkataan nya yang selalu menjanjikan sesuatu pada Zaidan.

Perempuan yang kini tengah duduk di meja belajar dengan layar laptop yang menyala ini menggaruk kepala nya gusar.

Raina tidak paham dengan dirinya sendiri. Mengapa bisa asal menjanjikan sesuatu pada seseorang? Terlebih pada lelaki itu?

Raina menutup laptopnya dan beralih memandang pantulan dirinya di cermin kecil samping tumpukan buku.

"Lo bego tau gak? Lo sadar kalo sekarang Zaidan lagi nagih janji? Lo bisa selalu ada buat dia? Enggak, Raina!" Monolog perempuan ini. "Bahkan keadaan lo sekarang gak beda jauh sama dia! Apa yang bisa lo kasih sedangkan diri lo aja kekurangan apapun?"

Raina beralih menjambak rambutnya dengan kuat. Apalagi ketika suara teriakan ibunya terdengar sangat keras dengan bentakan kentara yang di tujukan pada suaminya.

Raina adalah orang yang mudah stress, mudah kepikiran akan hal sekecil apapun.

Banyak coretan masa kecilnya di diary perempuan ini. Salah satunya menginginkan kehidupan yang dijalankan orang dewasa. Karena, Raina pikir orang dewasa selalu tahu banyak hal, bisa melakukan apapun yang mereka mau dan tentu nya tidak ada beban dalam hidupnya.

Perkiraan Raina salah. Perlahan, dirinya dapat mengetahui jika semakin bertambah usia maka ujian yang akan Tuhan berikan semakin sulit.

Kegaduhan di luar masih berlangsung, membuat perempuan ini semakin merasakan sesak pada ulu hatinya.

Selain tidak menyukai dirinya sendiri, Raina benci ketika papa pulang lebih awal dengan keadaan mabuk, membuat masalah, menjadikan ibunya pelampiasan kekesalan akibat masalah pekerjaan.

Raina mengobrak-abrik laci meja belajar, mencari sesuatu yang sekiranya dapat menenangkan dirinya sendiri. Dengan tangan gemetar, Raina meraih dua pil obat penenang dan meraih satu gelas air putih yang berada di hadapan nya.

Bertepatan dengan suara piring pecah, Raina menjambak rambut nya kuat-kuat dengan teriakan yang tertahan. Nafas perempuan ini memburu.

"KALO KAMU MAU CERAI SAMA AKU, BILANG, MAS! ANAK-ANAK BIAR SAMA AKU!"

Kalimat yang sangat Raina benci melebihi apapun.

Perempuan ini membenturkan kepalanya berulang kali pada meja dengan isakan tangis yang tertahan. Satu yang Raina harapkan. Besok, dirinya pergi dari dunia ini.

***

"Ma, Arga mohon, bertahan demi Arga." Lirihan dari lelaki yang tengah memegang tangan kanan ibunya itu terdengar. Saat ini, Arga bukan lagi seseorang yang selalu terlihat kuat di hadapan orang lain.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang