[ 59 ] Hai.

165 33 3
                                    

Raina mengerjap kala suara gaduh tertangkap oleh indera pendengarannya. Badan yang lemas dirinya paksakan untuk bergerak, mencoba duduk di lantai yang dingin ini. Keningnya mengerut menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya.

Perempuan ini tersentak kala tubuh seseorang tersungkur di hadapannya. Raina mencoba mundur untuk menghindar, namun ketika orang itu menatapnya dengan lirih, dia membeku.

Wajahnya penuh luka memar dengan ujung mata yang membiru dan darah segar yang masih mengalir di sudut bibir. Arga, lelaki yang di undang langsung oleh Zaidan untuk datang ke tempat ini mencoba untuk berdiri dengan tangan yang sudah tidak kuat menahan keseimbangan tubuhnya.

Arga tersenyum walaupun bibirnya kaku untuk digerakkan.

"Hai."

Raina diam, netra nya bergerak menatap sekitar. Ini bukan ruangan di mana dirinya di sekap kemarin malam. Ruangan ini penuh dengan bola basket, voli, tongkat baseball dan beberapa alat olahraga lainnya. Ruangan ini berada di lantai tiga. Cahaya yang masuk ke sini sangat menyengat, di tambah suara gaduh di luar sana yang terdengar sampai sini.

Kepalanya menoleh ke belakang, jendela besar yang menyentuh lantai tanpa tirai berdiri tepat di belakang nya. Membuat Raina dapat melihat jelas lapangan yang ramai oleh murid yang tengah berolahraga.

Raina juga dapat melihat gedung yang berada di kedua sisi, karena gedung sekolah berbentuk huruf U yang setengah melingkari lapangan. Pusatnya teralihkan pada gedung sebelah kiri, di mana ruang UKS berada di lantai 1 beserta beberapa ruangan kelas 10, lantai 2 yang di buat menjadi laboratorium dan lantai 3 menjadi ruang teater.

Kepalanya kembali menatap ke depan, kedua tangannya mengepal hingga kuku-kuku jari nya memutih. Teriakan Raina melengking ketika sebuah pisau hampir mengenai perut Arga. Laki-laki itu harus mengorbankan tulang punggung nya yang terkena keranjang bola karena menghindar.

Zaidan sudah benar-benar gila, laki-laki itu di penuhi aura gelap. Keadaannya tidak jauh beda dengan Arga, namun perasaan dendam di hatinya seperti kekuatan untuk melawan orang yang bahkan telah berkorban banyak untuknya.

"Lo ingkar." Zaidan menatap Arga yang membungkuk sambil memegangi perut bagian kiri nya.

"Gua minta maaf." Arga menyeka sudut bibirnya, menatap Zaidan dengan pilu.

"LO SUKA SAMA RAINA, ARGA!"

Raina yang sejak tadi menggedor jendela berharap ada yang melihatnya, menghentikan aksinya perlahan. Perempuan ini menatap Zaidan yang berteriak.

Ruangan ini kedap suara, membuat siswa yang mempunyai niat kotor selalu betah di sini.

"Lo udah ingkari janji kita." Suaranya berganti lirih, lelaki berseragam putih abu-abu ini memegang erat pisau di tangan kanan nya. "Lo tau kalo gue cinta sama Raina, lo gak seharusnya punya perasaan yang sama ke dia." Matanya melirik Raina.

Arga tertawa, mencoba berdiri tegap untuk menatap Zaidan. Dia ingin balas berteriak 'lebay' di hadapan wajah Zaidan. Namun, jelas jika situasi yang dirinya hadapi bisa saja menghilangkan nyawa. Ini bukan waktunya bercanda demi menghibur diri.

Arga menghela nafas panjang, matanya menatap tongkat baseball di belakang Zaidan.

"Lo ngomongin cinta sama gua? Kalo lo bener-bener cinta sama Raina, lo gak akan pernah bikin dia menderita."

"Tapi gue lakuin ini buat lindungin dia—"

Arga segera menyela, kaki nya bergerak pelan melangkah maju.

"Lo gak akan nyekap Raina kayak gini, Zai. Lo gak akan bikin Raina takut, lo bakal tahan diri lo yang lain supaya gak menguasai lo." Arga mendengus, "Gua udah peringati lo dari dulu, Raina gak pantes buat lo. Dia cuma bisa bikin sakit hati, bisanya ngang ngong ngang ngong ngeluarin sumpah serapah. Gua tau apa motif lo lakuin ini, lo mau balas dendam sama dia?"

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang