[ 57 ] Hadiah terbaik.

141 32 3
                                    

"Mama minta maaf, semua ini mendadak, Rain. Situasi mama yang bikin mama harus mutusin semua ini sendirian. Ini juga demi kebaikan mu, Cia, Iki. Kalo mama gak nikah sama Om Adam, mama gak sanggup bayar biaya rumah sakit mu sendirian, tempat tinggal bahkan kita udah gak punya. Kamu ikhlas, ya?"

Raina tidak menoleh sedikit pun pada mama nya yang duduk di samping tempat tidur sambil mengelus kepalanya.

"Mama sayang sama kamu, mama gak mau kamu kenapa-napa lagi. Mama gak kecewa, mama tau Raina anak baik." Lanjut mama Risa, berhasil membuat atensi Raina terfokuskan padanya.

"Apa mama tau semua masalah aku?"

Mama Risa tersenyum tipis di iringi anggukan. "Kamu anak mama."

Beliau mengecup kening Raina cukup lama. Lalu, ke luar dari kamar bernuansa abu-abu yang sudah menjadi hak milik Raina saat ini.

Raina menghela nafas panjang, perempuan dengan hoodie berwarna mint ini menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya. Sadar akan satu hal, dirinya menatap baju yang tengah melekat di tubuhnya.

"Raina!"

Sasha masuk ke dalam kamar Raina, tidak lupa mengunci pintunya. Perempuan itu menghampiri Raina dengan semangat, duduk di tempat tidur Raina yang tengah bersandar.

"Kaki lo udah baik-baik aja, kan?"

Raina mengangguk, "Udah mendingan."

Perempuan dengan rok selutut dan rambut yang di biarkan terurai itu menghambur kepelukan Raina, memeluk Raina sangat erat.

"Sha—lo berlebihan!" Raina merasa kesulitan bernafas, membuat dirinya menepuk pundak Shasha sangat keras.

Shasha tertawa kala dirinya menjauh dari Raina. Setelah puas, dirinya meredakan tawa lalu beralih menggenggam tangan Raina.

"Selama di sekap, Dinda bilang apa?"

Raina memejamkan matanya sesaat, kemudian kembali menatap Shasha.

"Jangan bahas itu, ya."

"Harus. Dinda bilang itu hadiah terbaik karena lo ulang tahun, gue iri Rain. Dinda bisa bikin lo kayak gini, kenapa gue enggak? Lo bisa ingat apa yang Dinda lakuin, tapi lo gak ingat hadiah yang gue tunjukkin." Shasha menatap Raina dengan sedih.

"Maksud lo?"

Shasha mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya, lo di sekap, itu hadiah dari Dinda, kan? Gue iri karena dia bisa bikin lo terkesan."

Raina menghempaskan tangan Shasha dengan kasar, "Lo ngomong apa, sih? Lo tau dari mana kalo Dinda ngomong gitu?"

"Gue tau semuanya." Shasha menatap Raina dalam-dalam. "Gue tau semua tentang lo, Raina Aphrodite Lauzziya."

Raina semakin di buat bingung, perempuan ini memegang kepalanya frustasi. Pikiran nya langsung mengingat kejadian-kejadian yang sudah menimpanya. Raina semakin mendekatkan diri pada sandaran, memeluk kedua lututnya.

"Siapa lo sebenarnya?"

"Gue temen lo, Raina." Tekan Shasha. "Lo tempat cerita gue, lo yang selalu dengerin curhatan gue, gue yang udah jagain lo, gue yang udah kasih hadiah itu sama lo! Gue!"

Tidak, itu terlalu mengerikan di telinga Raina. Hadiah apa yang telah Shasha berikan sehingga membuat perempuan itu merasa iri pada Dinda?

"Tolong, gue udah capek ... " Lirih Raina.

Shasha menatap Raina tanpa eskpresi. Perempuan ini menghembuskan nafas kasar, menunjuk wajah Raina dengan jari telunjuknya dengan gerakan memutar.

Shasha menggeleng pelan, "Gue gak suka liat lo sedih."

"Gue muak sama semuanya. Gue gak suka liat lo deket-deket sama Zaidan." Shasha menatap Raina tajam, "Harusnya lo jauhin dia!"

"Lo suka Thriller, kan?" Shasha memiringkan kepalanya ke samping. "Karena gue pikir, mungkin lo pengen liat kejadian itu di dunia nyata. Jadi gue kabulin keinginan lo, Raina."

Shasha menatap Raina dengan intens. "Gue udah susun semua hadiah buat lo waktu itu. Gue udah ubah keadaan rumah gue, tapi lo malah bawa orang lain. Padahal gue mau nunjukin semua itu cuma ke lo aja. Gue udah beli kue, gue udah setel lagu kesukaan lo, bahkan ibu gue sendiri ikut ngerayain ulang tahun lo, Raina."

Shasha merubah ekspresinya menjadi murung. "Lo lupa, ya? Gue udah siapin semua itu dari lama, tapi lo gak menghargai usaha gue. Gue sakit hati."

Shasha menundukan kepalanya. "Lo tau? Gue sengaja ninggalin pisau itu, gue sengaja arahin bola mata mami ke pintu. Biar waktu lo masuk, mami tau siapa yang bikin gue seneng akhir-akhir ini. Biar mami juga tau, siapa orang yang spesial di hidup gue."

Raina mengingat hari di mana dirinya melihat kejadian mengerikan di rumah Shasha. Seorang wanita yang tergeletak bersimbah darah di sofa dengan pisau yang masih menancap, kue dengan lilin yang menyala, dan layar yang hidup dengan suara rock kencang.

Perempuan ini menggeleng lemah, merasa tidak percaya dengan apa yang Shasha katakan. Tubuhnya sudah bergetar, bahkan, Raina tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.

Shasha menatap Raina, membuat perempuan yang meringkuk ketakutan itu tersentak.

"Happy Birthday to you." Shasha mengeluarkan polaroid di dalam tasnya lalu, menyerahkan benda itu pada Raina.

Raina menjerit kencang kala menatap foto penampakan ibu Shasha yang menatap ke layar kamera. Perempuan ini menggelengkan kepalanya sambil terus berteriak.

Shasha tersenyum senang, "Gue berhasil bikin lo terkesan. Ini hadiah terbaik buat lo, Rain."

"LO GILA! KELUAR DARI KAMAR GUE!"

Pintu kamar di gedor dari luar kala teriakan Raina tidak berhenti. Orang tuanya dan adik-adiknya terus bertanya dengan khawatir. Bahkan, Om Adam sudah berusaha mendobrak pintu.

"Raina, gue sayang sama lo. Gue lakuin semua ini buat lo."

Raina menggelengkan kepalanya terus menerus.

"Gue gak mau liat lo sedih karena orang lain." Shasha berdiri dari duduknya. Perempuan itu menatap pintu yang terus di paksa terbuka. "Lo anak baik, tapi gue suka liat lo kebingungan. Lo cuma di jadiin bahan mainan."

Shasha menoleh, "Gue seneng karena bisa jagain lo sejauh ini. Gue gak akan biarin lo yang kalah, gue juga gak akan biarin dia rebut lo dari gue."

Setelah mengatakan itu, Shasha mengambil kembali polaroid yang sempat dirinya letakkan di atas tempat tidur. Perempuan ini berjalan ke pintu. Lalu, membuka pintu dengan ekspresi takut dan kebingungan.

"S-saya khawatir sama Raina, tiba-tiba aja dia teriak. Saya udah nyoba nenangin dia, dia malah ngambil ancang-ancang buat lukain diri sendiri. Makanya saya tadi sempat kunci pintunya, takut Raina keluar rumah dan nekad." Shasha mengusap air matanya yang turun. Perempuan ini menatap Om Adam yang sudah mengusap pundaknya. "S-saya permisi, Om. Mungkin Raina masih takut berhadapan sama orang lain."

"Saya paham, terimakasih sudah jenguk anak saya. Hati-hati di jalan ya, Nak."

Sedangkan ibu dan adik-adik Raina, mereka sudah berada di dekat Raina untuk menenangkan Raina yang terus meracau tidak jelas.

Apa yang Raina takuti ternyata terjadi. Perlahan, kebohongan orang-orang di sekitarnya terungkap. Kepala perempuan ini pening, Shasha sudah gila.

Raina sudah benar-benar merasa takut pada semua orang yang mendekatinya.

Lalu, apa mungkin perempuan itu juga yang sudah menghilangkan nyawa orang-orang yang pernah mengusik hidup Raina dengan alasan menjaga?















∆∆∆

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang