[ 14 ] Jangan terlalu maksa.

212 50 6
                                    

"Gue di marahin sama bonyok gue," Adu Shasha pada Raina yang sedang sibuk menulis materi pada buku tulis perempuan itu.

"Di marahin gimana?" Tanya Raina tanpa menoleh ke arah Shasha.

"Gue di suruh belajar, tapi karena gue gak mau jadi di marahin sama dia. Sialan emang." Jelas Shasha mengingat kejadian kemarin malam ketika diri nya di marahi habis-habisan oleh kedua orang tua nya.

Raina menghentikan kegiatan nya dan menatap Shasha yang juga menatap Raina. Menurut perempuan ini, tidak ada yang salah atas perilaku kedua orang tua Shasha.

Mungkin kedua orang tua Shasha memang sudah habis kesabaran karena Shasha yang memang sangat susah untuk belajar. Di sini saja kerjaan perempuan itu menyalin hasil jawaban Raina.

"Makanya, belajar biar gak di marahin. Belajar gak mau tapi waktu di marahin sama bonyok kesel sendiri." Habis mengatakan itu, Raina kembali menulis pada buku nya dengan tinta berwarna hitam.

"Gue belajar, Raina. Tapi, waktu gue lagi megang HP selalu aja mereka dateng ke kamar gue. Kan waktu nya gak pas. Giliran gue lagi belajar mereka gak dateng, pas gue lagi main HP mereka malah dateng sambil marah-marah."

"Lo ngomong lah sama mereka kalo sebelum main HP lo udah belajar." Saran Raina dengan suara yang perempuan itu rendahkan. Pasalnya, guru sejarah yang sedang duduk di meja nya melirik mereka sekilas.

"Enggak gampang, gue udah ngomong gitu tapi mereka gak percaya." Kekeh Shasha dan menyandarkan kepala nya di bahu Raina.

Raina mengusap surai Shasha dengan lembut, "Sabar ae, anak hasil nemu emang harus di didik dengan keras." Kata Raina dengan nada candaan di iringi kekehan.

Shasha ikut tertawa mendengar itu. Namun, setelahnya dengan cepat merubah mimik wajah menjadi tidak berekspresi.

***

"Arga, apa gue udah gila?" Tanya Zaidan pada Arga yang duduk di bangku samping ranjang rumah sakit.

Arga mengangguk, "Udah akar kuadrat."

Zaidan sedang bersandar pada sandaran ranjang rumah sakit. Dengan salah satu punggung tangan yang di tempeli selang infus dan wajah nya yang pucat.

Semalam sebelum Arga dan Juna menghampiri Raina, Zaidan baru saja di larikan ke rumah sakit karena lelaki itu mengeluh sakit perut dan sesak.

Dokter berkata, mag Zaidan kambuh karena seharian tidak makan apapun. Jelas itu membuat Arga, Juna dan Haikal marah sekaligus khawatir.

Padahal, selama ini ketiga nya sangat memperhatikan kondisi Zaidan. Namun hari ini mereka kecolongan.

"Apa Raina bakal ke sini?"

Arga menghembuskan nafas dengan kasar. Sejak tadi yang di tanya kan Zaidan hanya dua pertanyaan itu saja.

Pertama, apa dia sudah gila?

Kedua, apa Raina akan menemui nya?

Untuk pertanyaan opsi ke dua Arga tidak bisa menjawab. Karena, dia sendiri tidak tahu apa Raina akan berkunjung atau tidak. Arga takut salah bicara.

"Bisa diem gak? Gue lagi nge- game, nih." Celetuk Haikal yang sejak tadi bermain game dan duduk di sofa sambil merutuki Arga juga Zaidan yang tidak bisa diam.

Haikal dan Arga memang kompak untuk menjaga Zaidan di sini. Memilih untuk absen sekolah dari pada membiarkan Zaidan sendirian. Sedangkan Juna, hari ini lelaki itu sedang ada jadwal pemotretan.

"Sekarang jam berapa?" Tanya Zaidan.

Arga melirik jam yang tertera di dinding. Dengan jarum jam yang menunjukkan puluh sepuluh lebih lima menit. Dimana sebentar lagi sekolah mereka membunyikan bel istirahat.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang