[ 43 ] Sorry.

164 39 3
                                    

Hai, gue udah nebak pasti lo datang ke bandara. Hehe, gue boleh ge'er gak, sih?

Raina, surat ini gue titip di supir gue, semoga sampe ke lu.

Ini bukan kepergian mendadak buat gue. Tapi, sejak setahun yang lalu udah gue rencanain buat pergi dari rumah. Dengan cara kabur ke Jepang.

Sorry.

Semua ini gue lakuin karena, gue udah muak sama kelakuan bokap gue yang selalu bawa wanita baru ke rumah dan anggap gue sampah.

Cuma di Jepang, gue bisa tenang Raina.

Bulshit kalo gue gak peduli sama lo. Gue cuma gak mau liat lo nangis karena gue. Gue gak mau, Rain. Maka dari itu gue gak bilang apapun sebelum gue ke sini.

Gue udah anggep lo sebagai adik gue sendiri. Gue sayang sama lo, Raina. Gue udah lepasin lo sekarang.

Orang yang bikin gue hidup, orang yang bikin gue jadi diri sendiri itu cuma lo. Dan orang yang ngertiin gue, cuma lo, Raina.

Buat balesin perlakuan mereka yang udah bikin hidup sengsara. Inget, pesan gue, lo bales dengan cara kejayaan. Lo harus tunjukin ke tetangga, sepupu-sepupu lo, bahwa lo gak seperti apa yang mereka ucapin. Lo pinter, lo bisa segalanya.

Dan itu bikin gue bahagia. Gue pengen lo sukses. Gue pengen lo gak sedih-sedih lagi. Lo bisa buktiin sama bapak lo, kalo dia gak sia-sia nyekolahin lo.

Makasih dan maaf.

Gue pasti bakal kangen sama lo.

Tertanda,
Abian Maheswara.

***

Raina duduk di kursi tunggu dengan secarik kertas yang berada di tangannya. Perempuan itu menunduk. Ada gejolak amarah, kesal, bahkan tidak rela dalam hatinya.

Jika saja Abian mengatakan lebih dulu tentang kepergiannya, mungkin, Raina tidak akan seperti anak hilang yang mengelilingi bandara dan akhirnya bertemu dengan supir dari lelaki itu.

Raina merasa tidak dihargai jika seperti ini. Memang, dirinya tidak ada hak untuk mencegah ataupun mendorong lelaki itu untuk pergi ke negeri Sakura.

Namun, jika Abian berpamitan, Raina tidak akan marah seperti ini.

Abian adalah satu-satunya teman perempuan ini yang selalu mengerti keadaannya, mengetahui setiap masalah hidupnya dan penghibur baginya.

Raina berpikir sehat. Di jaman ini, ada teknologi yang bisa digunakan untuk menghubungi satu sama lain.

Matanya sudah berkaca-kaca. Namun, dengan cepat Raina menengadah agar air matanya tidak turun.

"Pengen nangis tapi malu." Gumamnya sambil kembali menatap surat tangan Abian.

"Lebay." Arga yang duduk di samping perempuan itu menceletuk.

Raina menoleh ke arah Arga dengan kesal, "Biarin." Katanya. "Lagian ngapain masih disini?"

"Gedung ini bukan milik lo, apa pantes nanya gitu?"

Raina memejamkan mata sesaat lalu, membuang muka sambil menghembuskan nafas kasar.

"Lo nungguin gue, ya?"

Arga mendengus sambil meraih jaketnya yang berada di sampingnya.

"Ge'er."

Arga bangkit, berniat pergi dari sana. Tadinya, lelaki itu berpikiran untuk tetap di sini karena, terlalu malas jika datang ke markas ketika bolos seperti ini. Di sana pasti ada Deka yang akan menceramahinya.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang