[ 29 ] Nasib buruk.

188 46 5
                                    

Kecantikan itu tidak menjamin kesejahteraan, kebahagiaan, bahkan baik nya nasib seseorang. Jika bukan di hina, maka tatapan iri orang-orang selalu di layangkan.

Jika perasaan iri itu sudah menjadi dendam, maka, tidak dapat mengelak jika hidup menjadi tidak tenang.

Sama seperti gadis yang sejak tadi hanya menatap bekal makanan nya yang tertata rapi di atas meja. Dengan menu favorite nya yaitu nasi goreng dengan telur dadar di atasnya juga tanpa tomat sebagai hiasan.

Abian mengatakan satu kalimat panjang sebelum lelaki itu pergi keluar kelas.

Raina Aphrodite Lauzziya bahkan tidak selera hanya untuk mengunyah satu sendok nasi. Pikiran nya selalu terarah pada perkataan Sisil beberapa jam lalu, di tambah kesimpulan yang di berikan Abian.

"Sisil iri karena ... gue deket sama Abian? Kenapa gak ngomong baik-baik aja?" Raina menyimpan kembali tempat makan nya ke dalam tas. Lalu, meneguk air putih dalam botol.

"Masih mikirin video?"

Raina menoleh ke arah Shasha yang bertanya seperti itu dan Abian yang baru tiba dari kantin. Abian menyimpan satu bungkus donat kesukaan Raina di meja perempuan ini.

"Anes kan bilang video itu di sebar sama orang yang gak suka sama kejadian di kantin. Sisil bilang, gue harus peka sama temen-temen gue, orang-orang yang terlibat juga." Jelas perempuan dengan ciri khas rambut yang selalu terurai ini.

"Lo kok peduli banget, Rain? Jangan musingin diri lo sendiri, deh." Tegur Shasha.

"Itu bukan video sembarangan, Sha. Gue udah cerita ke lo gimana bar-bar nya Dinda waktu dateng ke rumah gue, nuduh gue yang sebar video itu."

"Terus apa pedulinya? Ya dia beranggapan lo lah yang nyebar, orang kalian aja abis cekcok di kantin."

Raina sempat diam untuk sesaat, membenarkan opini Shasha karena, dirinya sendiri beranggapan seperti itu.

"Tapi Anes sama Sisil bilang video itu di sebar sengaja, Sha."

Shasha menarik nafas dalam-dalam, kesal juga karena Raina sangat keras kepala. Shasha pikir, tidak ada yang penting dengan semua itu. Jika bukan Raina yang menyebarnya, mengapa harus repot-repot mencari pelaku?

"Okey, lo percaya omongan Si Sisil. Temen-temen lo, orang-orang yang terlibat? Gue temen lo, Rain. Gue jelas gak terima waktu lo di hina di depan umum. Tapi, boro-boro buat nyebar video itu, gue bahkan gak tau mereka siapa kalo lo gak ngomong." Jelas Sisil, sedikit meninggikan nada bicara.

"Mau terlibat gimana, coba? Logikanya gini deh, Sisil tau gue? Kagak. Anes tau gue? Kagak. Dinda tau gue? Kagak. Gue tau mereka? Kagak. Mau terlibat masalah gimana kalo gak ada interaksi?" Lanjut Sisil.

Raina setuju dengan ucapan Shasha. Sasha dan dirinya sama. Sama-sama tidak mengenal Anes, Dinda dan Sisil. Bedanya, mereka mengatakan jika Raina penyebab tersebarnya video tidak pantas itu.

Pandangan Raina terusudutkan pada Abian yang sejak tadi diam. Raina dan Abian memang berteman, saling bertukar cerita, namun, tidak untuk masalah yang menurut perempuan ini sangat pribadi.

Abian memperlakukan dirinya layaknya teman biasa. Tidak lebih. Namun, Abian adalah orang yang membuat ketiga remaja itu memaki dirinya di depan umum. Abian adalah akar dari semua ini.

Jika Raina tidak berdekatan dengan Abian, maka, tidak akan ada kejadian beberapa minggu lalu yang membuatnya malu, kejadian di mana Dinda menuduhnya dan membuat keluarga bahkan tetangganya memandang dengan tatapan murka, juga, perkataan membingungkan dari Anes dan Sisil.

Raina berdiri untuk lebih mudah menatap Abian yang berdiri tegap di depan nya. Lelaki itu bahkan tidak bereaksi apapun, membuat Raina mencurigainya.

Abian terkekeh pelan karena Raina terus menatapnya.

"Kenapa? Lo nuduh gue?" Tanya Abian sambil memasukkan kedua tangan nya pada saku celana.

Raina diam, menunggu perkataan selanjutnya dari Abian.

"Sisil mantan pacar gue. Gue paham apa yang lo pikirin sekarang. Tapi bukan gue yang nyebar atas nama lo, ataupun bales dendam karena kejadian di kantin. Gak guna, gue juga bukan stalker." Perkataan singkat namun jelas itu terucap, membuat Raina meremas rok abu-abu nya.

"Gini deh, Rain. Kalo lo masih percaya sama ucapan Sisil, coba pikirin, siapa yang selalu nekad demi lo?" Tanya Shasha. "Orang yang selalu pengen lo selalu istimewa?" Lanjut Shasha.

"Kecantikan lo di atas rata-rata, gak salah kalo lo di kasih nasib buruk sama Tuhan. Biar seimbang." Ucapan Shasha menggema dalam ruangan sepi ini.

Raina kembali duduk dan menelusupkan wajahnya pada lipatan  tangan. Raina membenarkan perkataan Shasha.

Perihal orang tuanya yang akan bercerai kembali hinggap dalam benak perempuan ini.

Sejak kecil hingga sekarang, tidak ada satupun hari yang membuat pikiran nya tenang. Raina tidak menyalahkan Tuhan, Raina menyalahkan dirinya sendiri yang selalu tidak bisa apa-apa.

Di luar sana banyak orang yang iri karena paras perempuan ini. Sama dengan Raina, yang iri karena ketentraman yang mereka dapatkan.

Pada dasarnya, manusia itu selalu merasa tidak puas dengan apa yang mereka peroleh dan selalu melupakan kata bersyukur atas apa yang sekarang di dapatkan.

***

"Dan, mau masuk sekolah kapan?" Tanya lelaki dengan topi yang membaluti kepalanya. Zaidan menoleh dengan malas dari film anime yang masih berputar di layar laptopnya.

"Nunggu Raina sadar."

"Lo kata Raina koma?" Tanya Haikal lalu, melempar topinya tepat pada kepala Zaidan yang sedang duduk bersandar pada tempat tidur kamar lelaki itu.

"Menurut lo, gue sia-sia gak terus ngejar Raina?"

"Ya iyalah, bego! Lo pikir pake otak, kalo udah di tolak mentah-mentah, sampe bikin sakit hati mana ada orang yang masih betah? Pikir pake otak jangan hati mulu!" Sarkas Haikal. Setelahnya, lelaki ini mendapatkan pukulan pada perutnya.

Arga yang duduk di samping lelaki itu memukul perut Haikal tanpa perasaan. Membuat Haikal sadar akan ucapan nya yang bisa saja membuat Zaidan terluka. 

Walaupun sudah diwanti-wanti oleh ahli psikiater yang menangani Zaidan untuk tidak mengatakan hal sensitif, tetap saja. Haikal selalu terpancing emosi ketika Zaidan membahas Raina.

Haikal merutuki sahabatnya yang  termakan janji palsu bocah berumur tujuh tahun kala itu. Juga, Haikal menyalahkan Raina karena selalu asal berbicara, bahkan mengungkapkan janji hanya sebagai penenang.

Mengapa ada orang yang menyepelekan sebuah janji? Haikal tidak habis pikir.

"Gue yakin kok, Raina bakal terima gue suatu saat ini. Cepat atau lambat, dia pasti sadar."

Model papan atas yang kini sudah sangat terkenal itu terkekeh pelan, "Lupain soal janji, anggep aja masa lalu itu gak ada. Lo deketin Raina karena suka, sama kayak cowok-cowok di luar sana. Awalnya kam gitu, belum berjuang aja udah di tolak. Liat dari sisi yang mudah, Dan. Lo pasti paham maksud gue." Tanpa menatap Zaidan, Juna berkata dengan santai.

Tangan lelaki ini terarah untuk mengangkat panggilan masuk, berjalan ke luar lalu, menutup pintu kamar Zaidan setengah terbuka.

Haikal menatap teman-temannya dengan nanar. Tidak ada yang mendukung keputusan nya, mereka bahkan tanpa perkataan jelas mampu membuat Zaidan mengerti.

Mereka jelas tahu jika masing-masing dari laki-laki yang selalu menemaninya itu adalah harapan Zaidan agar tetap bertahan. Namun, dari hal kecil saja mereka tidak memberi semangat pada dirinya.

Yang Zaidan saat ini inginkan adalah dukungan mereka, bukan malah sebaliknya.











∆∆∆

Mulut merecon semua :(

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang