[ 31 ] Ucapan terima kasih.

134 45 2
                                    

"Kata ibu ambil soto tuh di rumah."

Raina menoleh sekilas pada anak perempuan berumur sembilan tahun dengan rambut sebahu yang terurai.

"Kenapa gak sekalian aja bawa ke sini?"

"Males."

Raina mendelik pada Mahda-adik perempuan Dias-dengan tajam. Adik sepupu nya itu berjalan mendekat ke arahnya, mengambil satu buah pulpen berwarna biru dengan lumba-lumba sebagai hiasan yang berada di meja belajar.

"Ini buat Mahda, ya." Pinta Mahda dengan kedua tangan yang terus membalikan pulpen itu dengan mata berbinar.

Raina merebut pulpen berwarna biru itu lalu, menyimpan nya ke dalam tas. Lalu, menutup laptop dengan asal.

"Beli."

"Kok pelit, sih? Mahda bilangin ibu, nih."

"Gak takut." Tukas Raina, perempuan yang mengenakan kaos putih polos dan celana training itu berjalan ke arah meja rias, mengambil jepitan besar untuk menjepit rambut panjangnya yang sekarang sudah melebihi punggung.

Mahda berdiri di samping Raina yang tengah menyisir rambutnya.

"Kak Raina pelit, padahal ibu selalu ngasih uang jajan buat kakak!"

"Terus?"

"Mahda cuma minta satu pulpen gak banyak, tapi kakak gak ngasih. Harga nya pasti murah, gak sebanding sama apa yang udah ibu kasih ke kakak."

Raina menatap tampilan nya sekilas, rambut yang sudah di jedai, kaos polos berwarna putih lengan panjang, celana training panjang berwarna hitam. Perempuan ini tersenyum, dalam hati Raina bersyukur karena dengan penampilan seperti ini saja aura kecantikan nya masih pekat. Narsis!

"Ambilin soto kalo gitu, nanti di kasih pulpen nya."

"Gak mau."

"Kenapa gak sekalian bawa aja ke sini sotonya? Ke sini cuman ngasih tau doang." Gerutu Raina sambil melangkah ke luar kamar. "Keluar. Mau di kunci."

Keluarnya Mahda dari kamar, Raina mengambil kunci yang berada di atas lemari dekat pintu. Mengunci kamarnya untuk mengambil soto dari tante Laila.

Karena rumah ibunya dan tante Laila tanpa penyekat, Raina lebih dekat untuk ke rumah beliau. Dirinya dibuat kaku saat tiba di depan rumah ada Dias tengah mengobrol dengan satu teman fakultasnya.

Mereka tidak duduk di kursi kayu dekat jendela luar, namun, malah duduk lesehan dekat pintu.

"Permisi."

Kedua laki-laki yang tengah mengobrol itu mengalihkan pandangan pada Raina. Berbeda dengan Dias yang masih duduk, teman lelaki itu memilih untuk berdiri agar tidak menghalangi jalan.

"Pengen susah dapet jodoh?" Tanya Raina pada sepupunya, mahasiswa hukum yang sudah menempati semester akhir.

Tanpa menunggu jawaban Dias, Raina berlalu ke dalam rumah. Tidak lupa mengulangi kata 'permisi' ketika melewati lelaki berjas biru yang sejak tadi menatapnya lekat.

"Siapa lo?"

Dias mengangkat satu alisnya sambil menatap setiap pergerakan dari teman nya yang duduk menyila seperti semula.

"Tukang kebun."

Deka Alputra, teman satu angkatan Dias yang sama-sama mengambil jurusan hukum itu memutar bola matanya malas. Sedangkan, Dias cengengesan sambil mengelus tengkuk lehernya.

"Dia adek gue. Ngapa? Lo suka sama dia?" Pertanyaan dari Dias dengan nada ngegas itu berhasil membuat lelaki bermata sipit itu mencibir.

Raina keluar dari dalam rumah dengan kedua tangan yang memegang soto satu mangkuk penuh.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang