[ 58 ] Zaidan dan Alderald.

191 35 0
                                    

Dalam dua minggu ini, keluarga Raina hanya bisa berdiri di depan pintu kamar perempuan itu, menyimpan makanan ke dalam tanpa bisa menatap tempat tidur yang selalu menjadi tempat aman bagi Raina.

Tidak ada suara apapun dari dalam kamar, seakan memang tidak ada kehidupan.

Ahli kesehatan, hanya mendapatkan hasil yang nihil karena pintu kamar sama sekali tidak bisa di buka dari luar dan tidak ada sahutan dari dalam. Raina benar-benar mengurung diri dari siapapun.

Namun, nyatanya sejak hari Selasa tanggal 20, bulan Desember, Raina sudah berada di beda tempat. Tidak ada yang tahu bahwa perempuan ini sudah menghilang.

Dinding dari gudang sekolah ini sudah terganti dengan banyaknya foto-foto Raina yang di ambil secara diam-diam. Lemari dengan pakaian serba hitam menggantung di sana.

Bahkan, di sebelah kiri, lemari kaca itu bukan di isi piala lagi, melainkan banyak nya pisau dengan ukuran berbeda-beda. Dan di tengah ruangan dengan ukuran yang luas ini, terdapat kursi dengan seorang perempuan yang di ikat dan mulut yang tidak bisa bergerak akibat lakban yang menempel di sana.

Dia tidak sendiri, di depan nya sudah ada laki-laki yang tengah memegangi remot kontrol. Jika tombol berwarna merah itu dirinya tekan, maka bangunan ini bisa roboh secepat kilat dengan bunyi ledakan yang bisa memekakan telinga.

Raina, gadis cantik berambut panjang, dengan lesung pipi diwajahnya dan mata indah yang nampak layu itu hanya menatap kosong tanpa mengatakan apapun. Jiwa nya seakan musnah, dia tidak memberontak. Bahkan, ketika beberapa orang di luar yang melewati ruangan ini terdengar, Raina bersikap acuh.

"Seru 'kan, Rain? Akhir dari semua ini, sama seperti yang saya inginkan."

Raina menoleh pada laki-laki berseragam yang berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Dia tersenyum manis, sama seperti biasanya.

Tatapan laki-laki ini teduh, tangan nya bergerak membuka benda berwarna hitam yang menutupi mulut Raina dan tali yang mengikat tubuhnya.

Perempuan ini diam membeku.

Laki-laki yang mengaku dirinya bernama Zaidan Bimantara itu merasa puas sekarang. Semua rencana yang dirinya inginkan berjalan lancar. Kepalsuan demi memenuhi hasrat dan nafsu nya yang gila, benar-benar terlaksana.

"Alderald." Laki-laki ini memperkenalkan diri dengan nama aslinya, menjabat tangan Raina yang lemah. "Senang bisa bertemu dengan mu."

Alderald, tanpa nama panjang ataupun marga. Karena, orang tuanya saja tidak diketahui keberadaan nya. Dirinya di beri nama oleh seorang pembunuh bayaran yang kini sudah meninggal akibat pemboman oleh sekelompok orang yang menjadi musuhnya.

Beruntung, laki-laki yang saat itu masih berusia 17 tahun bisa selamat. Nyatanya, Alderald adalah pria dewasa dengan umur yang kini sudah menginjak 26 tahun.

Berada di lingkungan gelap, membuat kepribadian nya terbentuk dengan jiwa yang sangat mengerikan.

Alderald mengaku pada Raina jika dirinya yang sudah membunuh mereka yang telah mengusik perempuan itu. Menjadi penguntit, ataupun pelindung, itu semua hanya omong kosong.

Tidak ada keinginan di dalam diri Alderald untuk melindungi gadis di hadapannya yang kini sudah mengetahui siapa dia yang sebenarnya. Dia hanya ingin bermain dengan pikiran gila nya, menjadikan Raina sebagai pemeran utama perempuan di dalam kisahnya.

Penyakit mental ataupun rasa trauma hanya Zaidan yang merasakan, bukan Alderald. Karena, Alderald sendiri yang membuat orang-orang trauma akibat ulahnya. Itu menurutnya.

Raina bungkam, mendengarkan penjelasan laki-laki di hadapannya.

"Kamu mencintai saya?" Lelaki ini mengusap pipi Raina dengan lembut. "Hm?"

Raina mengangguk, membuat senyuman miring milik orang di hadapan nya itu terlihat.

Alderald menggeleng, "Kamu mencintai Zaidan."

Masa kecil yang selalu di ceritakan, sebenarnya tidak pernah ada. Cerita tentang Ziya yang selalu menunggu Kak Zai di gerbang sekolah, semua itu hanya bualan yang sayangnya di percaya oleh banyak orang.

"Kamu Zaidan." Lirih Raina.

"Zaidan tidak pernah membunuh ayah mu." Alderald berbisik di telinga kanan Raina.

Seperkian detik, Raina langsung mengerti maksud dari ucapan laki-laki di hadapannya. Hati nya perlahan terisi dengan rasa sesak yang luar biasa. Tenggorokan nya tercekat, kepala itu perlahan menunduk dengan mata terpejam.

Suara tertawa yang semakin melengking terdengar di telinga Alderald. Hendak menampar pipi gadis yang terus tertawa tanpa kendali, tangan nya tiba-tiba sulit di gerakkan.

Alderald memejamkan matanya ketika suara itu terdengar dan terbayang di pikirannya.

"Tidak perlu ikut campur!" Lelaki ini menjatuhkan benda yang sejak tadi dirinya pegang, pandangan nya kembali terpusatkan pada Raina yang sudah terdiam.

Raina dapat melihat jika Alderald berbicara sendiri, seakan tengah menentang seseorang. Dia berjalan tidak tentu arah dengan tangan yang terus memegangi kepalanya.

"Saya tidak lemah seperti mu, Zaidan!"

Kepalanya terus terisi dengan sahutan yang membuat dirinya merasa sakit.

Raina menatap sekelilingnya. Perempuan ini mulai berdiri, berjalan gontai menuju pintu yang terkunci rapat. Dengan tangan yang terkepal lemah, perempuan ini menggedor pintu berulang kali.

Tangan lemahnya di tarik sangat kuat ke belakang, membuat keseimbangan nya hilang dan terjatuh ke lantai. Raina menengadah, menatap datar orang yang sudah dirinya anggap gila itu.

"Semuanya udah selesai, Alderald."

Menggenggam tangan Raina dengan wajah lirih, mata yang sudah berkaca-kaca itu terlihat gundah. Kepala lelaki ini menggeleng lemah.

"Aku Zaidan, Ziya. Bukan Al, ini aku." Tekannya.

"Ziya, tolong aku ... "

Raut wajah di hadapan Raina terus berubah-ubah, dengan perkataan yang sulit dirinya mengerti.

"Lo Al." Raina menatap dalam laki-laki itu. "Lo juga Zaidan."

Raina mundur perlahan ketika laki-laki itu menunduk. Tangan Raina bergerak mencari benda persegi berwarna hitam dengan atensi yang tidak lepas dari Alderald.

Walaupun dirinya ingin terlepas dari ini semua, namun Raina tidak ingin jika orang-orang yang tidak bersalah harus ikut mati bersama nya. Semua hal di luar akal sehat yang telah Alderald mulai, harus secepatnya berakhir.

Terlambat, Alderald berjalan cepat untuk meraih benda yang hampir Raina pegang.

"Lo udah bunuh banyak orang biar lo merasa puas, lo udah cukup seneng karena kegabutan yang lo buat berjalan lancar."

"Cerita Ziya dan Kak Zai itu ada, tapi bukan sama lo, Al." Raina memegang pipi kanan orang di hadapan nya, "Zaidan yang gue kenal, bukan Alderald."

"Dan takdir gue gak seharusnya jadi pelampiasan lo, Al. Kesedihan lo, rasa dendam yang ada di dalam diri lo, perlahan akan siksa kalian berdua." Ada jeda dalam ucapannya. "Jalan yang lo pilih di akhir cerita, malah buat semuanya sia-sia. Karena pada akhirnya kita akan mati juga."

Kenyataan nya, Alderald dan Zaidan memang ada. Mereka hidup dalam satu raga yang sama dengan kepribadian yang berbeda. Jika Alderald yang membunuh, maka Zaidan yang mempunyai alasan untuk melindungi Raina dari orang-orang yang membuat perempuan itu terluka.

"Gedung ini akan tetap hancur. Untuk menghilangkan jejak kita, juga semua kenangan yang pernah terjadi."

Laki-laki ini memegang dagu Raina, mendekatkan wajah mereka berdua. Mata itu terpejam dengan ujung mata yang sudah meneteskan buliran bening. Lalu, Zaidan menyatukan bibir mereka berdua.

Sekeras apapun mereka saling memberontak, nyatanya melawan diri sendiri memang sangat sulit. Baik bagi Raina, ataupun Zaidan dan Alderald.

















∆∆∆

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang