[ 44 ] Kebodohan.

153 39 2
                                    

"Gila, Abian cuma ngasih lo surat yang tulisan nya kayak ceker onta?" Lea terus membolak-balikan surat yang sejak tadi perempuan ini pegang.

"Antara norak atau niat, apa dia lupa kalo sekarang kita hidup di jaman mana?" Lea beralih menatap Raina dan Shasha yang duduk di depan nya.

Saat ini, mereka bertiga tengah berada di restoran atas permintaan Shasha.

Sepulang dari bandara dan berjalan-jalan bersama Arya, Raina langsung di telepon oleh Shasha untuk menyusulnya di sini.

Mereka bertiga masih mengenakan seragam lengkap.

"Gue ngaku, gue sama Abian mah gak terlalu deket, deket juga ya karena Raina. Dan gue masih maklumin kalo dia gak ngabarin gue kalo mau pergi ke luar negeri. Tapi, ini Raina loh, yang notabene nya orang kepercayaan. Kok bisa gak ngabarin. Ngerasa gak di hargain. Iya gak, sih?" Shasha berujar dengan tangan yang asik mencocol kentang goreng pada saus.

"Lea aja di kasih tau, kok Raina enggak, ya." Lanjut Shasha.

Shasha merebut secarik kertas yang semula berada di tangan Lea, membacanya hingga selesai. Alis perempuan itu terangkat satu. 

Shasha mendecih, mengembalikan kertas itu pada Raina yang sejak tadi melamun.

"Jangan ngelamun!" Sentak Shasha, membuat Raina menoleh malas pada perempuan itu. "Lupain aja semuanya, Abian udah seneng sekarang. Dan gue gak mau liat lo malah sedih kayak gini."

Raina menarik nafas panjang lalu, menghembuskan nya perlahan. Perempuan ini menatap layar Handphone, ada banyak notifikasi yang masuk. Raina lupa mengubah mode Handphone nya menjadi senyap.

"Gak tau, perasaan gue campur aduk sekarang. Kalo Abian bilang dulu mungkin gue gak akan kecewa, padahal pas malem kita masih teleponan." Raina meraih Handphone nya dan memasukkan benda pipih itu pada saku baju.

Lea memegang tangan Raina, mengelus lengan itu dengan prihatin, "Gak apa-apa, nanti bisa teleponan lagi, kok. Cuma ya siap-siap aja boros kuota,"

"Gue pulang duluan, ya. Nyokap udah nelepon mulu," Shasha meraih tas yang berada di samping nya lalu, berdiri untuk menatap Lea dan Raina secara bergantian.

"Duluan. Bye!" Shasha sempat mengelus bahu Raina sebelum pergi.

"Lo mau pulang kapan? Gue sih masih mau di sini, pacar gue lagi di jalan soalnya."

"Gue juga mau pulang." Raina mengambil tasnya, mengeluarkan dompet untuk mengambil uang.

"Yaelah, gua yang traktir. Santai aja kali." Ucap Lea ketika melihat Raina mengeluarkan uang seratus ribu satu lembar.

"Gue gak enak. Duluan, ya, Le. Have fun!" Raina kembali mengemasi tasnya, melangkah pergi dari sana.

"Hati-hati!"

Raina mengangguk, berjalan keluar dari restoran dengan terburu-buru.

Tiba-tiba saja, tangannya di cekal membuat langkah perempuan ini berhenti. Raina menoleh ke samping, mendapati Anes yang dibaluti pakaian serba tertutup.

"Gue mau ngomong sama lo."

***

"Gue denger, Abian pergi ke luar negeri?" Anes menatap Raina dengan dingin di jalan yang sepi ini.

"Iya, Kak."

Keduanya berada di jalan yang langsung menghadap pada sungai. Mereka berdiri di pinggir jembatan, agak jauh dari jalan raya.

"Dia gak titip apapun sebelum pergi?"

Raina mengerutkan alis, tidak mengerti maksud perempuan di hadapannya ini apa. Mengapa menanyakan hal seperti itu? Apa penting baginya?

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang