[ 11 ] Raina juga punya hati.

262 56 4
                                    

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, dan Raina baru pulang ke rumah. Itu jelas membuat dirinya di recoki habis-habisan oleh keluarga.

Raina duduk di sofa dengan kepala yang menunduk, di depannya saat ini sudah ada Tante Laila, Nek Laras, suami Tante Laila– Om Bagas, dan Dias.

"Kamu tuh perempuan, Tante hubungi semua temen-temen kamu katanya gak sama kamu. Kamu ini kemana aja sih, Rain? Kamu mau jadi perempuan gak baik pulang sekolah malah keluyuran?" Tante Laila bertanya dengan suara yang tinggi dengan matanya yang menatap Raina nyalang.

"Pulang sekolah bukannya langsung ke rumah, malah bikin khawatir satu keluarga. Kamu mau di sangka gak di urus sama keluarga?" Tambah Om Bagas.

Raina semakin menundukkan kepala ke bawah, tangan kanannya yang bebas memegang tangan Nek Laras yang berada di samping kanannya.

"Tau tuh, pacaran dulu lo? Masih bocil pacaran-pacaran. Cita-cita pengen ngangkat derajat orang tua tapi kelakuan kayak begini. Segala masalah di sebabin sama lo, Rain." Cercah Dias dengan santai. Seolah perkataan nya tidak akan menyakiti Raina.

"Bapak kamu mah mana ada khawatir sama kamu? Nggak ada selain Tante. Mama kamu kerja lembur, adik di tinggalin di rumah sendirian, harus nya kamu mikir ke sana. Jangan mentingin diri kamu sendiri." Tante Laila berdiri dari duduknya. "Sekarang terserah sama kamu. Bukannya untung masih ada yang perhatiin ini malah kayak gini. Gak tau di untung itu namanya." Tante Laila keluar begitu saja dari rumah Raina di susul Om Bagas.

"Kata gua apa? Jangan macem-macem, udah tau Ibu sikapnya kayak gitu." Kata Dias dan menyusul kedua orang tuanya yang sudah hilang di balik pintu.

"Jangan di ulangi lagi. Sekarang ganti baju kamu. Terus masak nasi ya buat Mama Rain." Nek Laras mengelus pundak cucuknya itu, memberi kehangatan pada Raina.

Raina menarik nafas panjang lalu menghembuskan nya dengan kasar. Dada perempuan ini sesak mendengar perkataan Tante Laila, apalagi ketika berujar bahwa Papa tidak mungkin mengkhawatirkannya. Itu sungguh sakit.

Raina menatap Nek Laras dengan senyuman tulusnya, "Cia mana?"

"Ngaji, Iki juga sama."

Raina mengangguk, lalu berdiri untuk memapah Nek Laras menuju kamarnya. Nek Laras membaringkan tubuh nya, meraba brankas untuk mencari tasbih yang selalu beliau simpan di sana.

Raina yang melihat Nek Laras kebingungan, seakan tahu apa yang di cari Neneknya itu. Raina mengambil tasbih beliau yang berada di dekat bantal lalu meberikannya pada Nek Laras. Nek Laras memang sudah pikun.

"Raina ke kamar dulu," Pamit Raina. Nek Laras mengangguk sebagai jawaban.

Raina berjalan dengan lesuh menuju kamarnya, menutup pintu kamar dengan kencang. Melampiaskan amarahnya yang tadi sempat memuncak. Duduk di samping ranjang dengan dada nya yang naik turun dengan cepat.

Pikiran perempuan ini berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Ini semua salah Zaidan dan Arga. Jika Zaidan dan Arga tidak mengajak nya mungkin dia tidak akan mengikuti kemauan dua lelaki itu.

Raina meremas sprei dengan kencang. Mata nya yang sudah memerah kini meneteskan air mata. Jika bukan karena mereka, Tante Laila tidak akan mengatakan yang tidak-tidak tentang Papa.

Sekarang Raina menyalahkan Arga dan Zaidan. Dirinya tidak akan lagi menjawab ketika di tanya dan mengatakan 'iya' ketika di ajak. Masa bodoh tentang perkataan Abian pagi tadi. Raina tidak peduli.

Psikis Zaidan yang sakit, Zaidan yang membutuhkan dirinya, Zaidan yang ingin dirinya berada di samping lelaki itu. Bukan Raina yang ingin tapi, lelaki itu. Raina akan singkirkan rasa empati yang sempat ada, Raina tidak boleh memikirkan orang lain. Dirinya lebih penting.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang