[ 32 ] Nenek pergi.

143 44 4
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, ruang tamu masih ricuh karena ramai. Di sana, papa Dio beserta ke tiga anaknya sedang menonton film menegangkan.

Raina duduk di lantai, sedangkan ke dua adiknya dan papa Dio duduk di sofa sambil menikmati cemilan yang baru saja papa Dio bawa.

"Coba tebak, si gondrong atau si botak yang menang?" Tanya Aaracia yang duduk di pangkuan papa Dio. Rizki yang asik dengan Handphone nya menatap layar televisi, menunjuk pria berkepala gondrong.

"Noh, si gondrong ninju nya edan. Pasti menang." Pernyataan Rizki mendapat anggukan setuju dari papa Dio.

Berbeda dengan papa dan adiknya, Raina menunjuk pria berkepala botak dengan bangga. Menelisik setiap pergerakan ke dua pria yang sedang bergulat di atas ring tinju.

"Bapak botak yang menang. Liat aja skill nya, udah kayak hero Lunox." Elak Raina.

"Dih, mana ada?" Sewot Rizki.

"Gondrong pasti yang menang, papa udah tiup ubun-ubun dia tadi."

Aaracia tertawa lepas mendengar perkataan papa nya ngawur. Mana bisa beliau meniup ubun-ubun si gondrong?

Raina yang mendengar suara tawa Aaracia tersenyum tipis. Sangat jarang Aaracia seperti ini. Atensi nya beralih pada tangan papa Dio yang menggelitik pinggang Aaracia membuat tawa bocah itu sulit diredakan.

Kedua orang tuanya memang selalu menuntut perceraian setiap kali bertengkar. Namun, hingga sekarang itu semua hanya omongan belaka.

Karena, papa Dio tidak pernah mau melepaskan mama Risa. Beliau tahu, hanya mama Risa yang mampu melengkapi segala kekurangan yang ada pada dirinya. Dan karena nafsu, papa Dio juga tidak bisa melepaskan istri ke duanya begitu saja.

Namun, satu yang selalu Raina yakini. Papa nya sangat menyayangi anak-anaknya.

"Udah malem, tidur sono!" Usir Raina pada Aaracia yang di jawab gelengan cepat oleh bocah itu.

"Gak mau bobo, belum ngantuk."

Papa Dio melirik Rizki yang berada di samping kirinya. Lelaki itu tengah bermain game dengan bibir yang di maju-majukan juga umpatan yang tidak bisa dia tahan ketika musuh menyerangnya.

Papa Dio meraup wajah Rizki membuat lelaki itu mendecak dan pindah ke single sofa tanpa mengucapkan apapun. Melihat tindakan papa nya, Aaracia jadi ikut menjahili kakak lelaki nya itu dengan gelitikan di telapak kaki Rizki.

"Diem, Dek!" Aaracia sama sekali tidak menggubris ucapan Rizki. Perempuan dengan rambut pirang itu malah tertawa dengan tingkahnya sendiri.

"Gimana sekolah kamu?" Tanya papa Dio, membuat fokus Raina teralihkan untuk melihat beliau dari bawah.

"Baik."

"Papa lupa, sekarang kamu kelas berapa?"

"Dua SD." Raina menjawab dengan malas. Setiap membahas sekolah, papa Dio akan bertanya hal serupa.

Beliau mencubit pipi Raina dengan gemas, "Masih peringkat ke satu, kan?"

"Iya lah, orang cantik kayak Raina mana pernah peringkat di kelas turun." Ucap Raina bangga.

Hanya bersama keluarga dengan suasana hangat, Raina akan menjadi dirinya sendiri. Tidak ada yang namanya berbicara singkat, seperlunya, ataupun berlaga dingin.

Raina yang asli seperti ini. Suka membanggakan dirinya sendiri, cerewet, banyak tingkah juga kekanak-kanakan.

Papa Dio beralih mengusap kepala Raina membuat perempuan ini kikuk. Setelah sekian lama, beliau kembali bersikap seperti ini. Raina sangat merindukan nya tentu saja.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang