[ 61 ] END

381 29 2
                                    

"Abian sebenarnya tidak pernah ke Jepang, dia sibuk mencari barang bukti kejahatan Zaidan. Idan di penjara sejak 2 tahun yang lalu, saya juga sering berkunjung ke sana. Sedangkan Sasha, saya tidak tau dia ada di mana sekarang." Jelas Arga.

"Juna? Haekal? Bram? Lea? Dan—" Menyadari raut wajah Arga seakan tidak tertarik dengan pertanyaan yang dia ajukan, Razea mengatupkan kembali mulutnya. "Maaf, aku terlalu berlebihan." Sesalnya.

Arga memilih abai, melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 23:50. Itu artinya, pergantian tahun akan berlangsung 10 menit lagi. Lelaki ini memilih berdiri, berjalan mendekat pada pagar di hadapannya.

Tidak terasa, sebentar lagi perayaan 4 tahun pernikahannya dengan Raina, perempuan yang selalu dirinya cintai hingga saat ini. Pernikahan yang berlangsung ketika mereka masih sama-sama berada di bangku kuliah, adalah pilihan yang tepat bagi keduanya.

Raina jelas membutuhkan seseorang yang dapat membantunya menyembuhkan diri dari rasa trauma. Dan orang itu adalah Arga, orang yang tidak pernah Raina pikirkan sebelumnya, orang yang semasa SMA terus membujuknya untuk berpacaran dengan sahabat lelaki itu, ternyata kini malah menjadi suaminya.

Mereka berdua di karuniyai seorang putri cantik yang mewarisi wajah keduanya. Mata bulat yang di hiasi bulu mata lentik dan bibir mungil seperti Raina, juga hidung mancung yang di turunkan oleh Arga.

Ara saat ini menginjak usia 12 bulan, sudah tumbuh dua gigi susu di atas dan dua gigi lainnya di bagian bawah. Perempuan mungil itu sudah bisa mengucapkan kata seperti: Yah, Nda, Mam. Bayi itu juga sudah bisa berjalan walaupun sering kehilangan keseimbangan.

Bayi itu terlalu aktif, bahkan Arga sendiri sering kewalahan mengurusnya.

"Oh, ya, kabar Kak Raina bagaimana? Aku sampe lupa, maaf. Apa bisa kita bertemu? Aku ingin mengucapkan banyak terimakasih." Razea mengukirkan senyuman manis, membayangkan secantik apa perempuan itu ketika bertemu langsung.

Arga terdiam, rasa sesak yang sudah lama dirinya simpan sendirian kini kembali datang ke permukaan. Lelaki ini membuang muka sesaat sambil menggigit bibir bawahnya, lalu kembali menatap Razea yang kini malah heboh menunjuk kembang api yang mekar di atas sana.

"HAPPY NEW YEAR!" Razea berteriak lantang.

Razea menatap Arga dengan gembira, "Happy new year, dokter Arga!"

"Happy new year, Razea!"

Razea terlalu bahagia, ini pertama kalinya dia menyaksikan kembang api bersama orang yang bahkan seharusnya masih asing. Sejak dua minggu yang lalu ketika dirinya sadar dari koma, memang Arga yang menemani dia sambil bercerita apa yang Razea alami.

***

"Lo mau ke mana bawa ponakan gua?" Lelaki berjas hitam itu mengerutkan kening, menatap Arga yang sudah bersetelan kasual ke luar rumahnya dengan tangan kanan yang menggendong anaknya, dan tangan kiri yang memegang payung.

"Raina."

Haikal yang baru menghadiri rapat ini mencekal tangan Arga ketika laki-laki ini hendak menyimpan Ara di kursi penumpang.

"Panas, gue takut Ara sakit."

Arga memperlihatkan payung yang dia pegang ke hadapan orang yang telah menjadi adiknya sejak 4 tahun yang lalu.

Haikal mendecak, "Gua yang bawa mobil."

Arga tidak menolak, dia masuk ke dalam mobil, lalu menggendong Ara di pangkuannya. Bayi mungil itu berceloteh tiada henti, sesekali memainkan hidung sang ayah selama perjalanan.

Tidak dapat menahan rasa gemas, di dekatkan nya wajah sang anak, Arga menciumi kedua pipi Ara yang gembul membuat bayi itu tertawa kegirangan. Ketika Arga menjauhkan wajah mereka, Ara akan terdiam. Namun, ketika Arga kembali memberikan kecupan di wajahnya, Ara akan tertawa kembali.

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang