[ 60 ] Kuasa Tuhan.

203 24 3
                                    

"Jadi, aku koma selama enam bulan, ya." Tatapan Razea menerawang, dirinya tidak pernah berfikir jika impian untuk bisa istirahat tercapai.

Mengingat kejadian enam bulan yang lalu, di mana dirinya yang selalu menjadi bahan bulian di sekolah tergelincir ketika turun dari tangga, akibat cairan lengket yang di tuangkan oleh orang-orang yang selalu mengganggunya.

Dari kejadian itu, Razea berharap jika Tuhan menjemputnya saja. Karena sungguh, gadis berkulit sawo matang dengan wajah penuh jerawat ini benar-benar lelah. Mendapat perlakuan tidak mengenakan, mempunyai fisik yang selalu menjadi bahan candaan teman-teman nya, bahkan di perlakukan tidak adil oleh sepupu-sepupunya.

Pemilik nama asli Razea Belvana Ayudia yang mempunyai arti berparas cantik dan bahagia ini membenci nama nya sendiri. Tidak jarang, orang-orang akan tertawa jika dirinya memperkenalkan diri. Bagaimana bisa, wajah buruk rupa mempunyai nama seindah Aphrodite?

Dia tidak berharap untuk di perlakukan istimewa. Namun, Razea ingin orang-orang menerima keberadaan nya. Tidak perlu di ajak bicara setiap saat, Razea hanya ingin dirinya di dengar ketika memberikan pendapat.

Mengapa dunia terasa tidak adil bagi dirinya yang tidak memiliki paras sempurna? Barangkali di kehidupan sebelumnya dia menjadi orang jahat, Razea benar-benar meminta ampunan pada siapapun orang yang pernah dirinya sakiti. Karena demi apapun, Razea hanya remaja yang selalu berpegang teguh pada dirinya sendiri. Tanpa siapapun yang menemani, atau bahkan menjadi penguat di saat dirinya mulai putus asa.

Razea pikir, manusia dengan fisik indah akan selalu menjadi paling utama. Tidak di buli, tidak menjadi bahan ejekan, dan hidupnya selalu mudah. Tidak perlu berdiri di paling belakang ketika upacara, tidak perlu duduk di pojokan kelas ketika semua orang ingin menjauh. Pergi ke kantin bersama teman-teman di iringi gelak tawa, bermain di akhir pekan, dan tidak akan pernah merasakan kesepian.

"Zea, apa kamu mendengar saya?" Dokter muda berkacamata persegi itu menepuk pundak Razea, menyadarkannya dari lamunan panjang.

"Maaf, dokter Arga." Razea tersenyum canggung. "Berarti, sekarang udah 2022, ya?"

Laki-laki berjas putih itu mengangguk sambil tersenyum simpul.

"Pergantian tahun malam ini, Zea." Arga melirik pergelangan tangan nya sekilas, "1 jam lagi."

Mengingat sesuatu, perempuan berumur 16 tahun ini menatap ke depan, dengan lengan yang bertumpu pada pinggiran pagar berwarna hitam sebatas dada. Matanya menyorot gedung-gedung tinggi yang terlihat jelas di atas sini. Pakaian pasien berwarna putih yang masih melekat di tubuhnya dan berbahan tipis ini tidak mampu menahan dinginnya angin malam.

Sesekali, Razea mengusap telapak tangannya.

Arga menyadari, lelaki 24 tahun ini melepaskan jas yang melekat di tubuhnya, menyisakan kemeja kotak-kotak berlengan panjang yang sengaja dia gulung sebatas sikut. Lalu, lelaki ini menyerahkan nya pada Razea, yang di terima langsung oleh perempuan itu. Tidak lupa, dirinya juga mengucapkan terima kasih.

"Tentang semua yang aku ceritakan tadi siang, apa dokter beneran bisa menjelaskan?" Razea menatap samping kanannya di mana Arga berdiri di sana.

Razea tentu saja masih mempertanyakan hal yang sama pada Arga, juga Tuhan yang telah memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi orang lain ketika tubuh aslinya malah tergeletak tidak berdaya di brankar rumah sakit.

Dan berkat semua ini, Razea menyadari garis takdir yang telah di rancang memang yang terbaik untuk kita, walaupun kita sendiri tidak tahu kapan dan apa yang kita dapat ketika berhasil berjuang menghadapi semua masalah yang telah di tentukan oleh Tuhan.

Menjadi Raina Aphrodite Lauzziya yang mempunyai paras bak dewi, kepintaran, bahkan bakat yang luarbiasa pun tidak terlepas dari ujian hidup. Razea yang berpikir jika keberuntungan hanya berporos pada orang-orang cantik saja, terpatahkan ketika dirinya sendiri merasakan apa yang perempuan itu rasakan.

Karena keberadaan dia, maupun Raina bukanlah kesalahan besar.

Tuhan memberikan kesempatan dirinya untuk bisa menghirup udara saja sudah sepatutnya Razea syukuri. Setiap orang mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun dengan persoalan yang berbeda.

Dirinya belajar banyak dari Raina. Nasib perempuan itu menyadarkan Razea tentang kerasnya kehidupan, dan sepecundang apa diri ini ketika memutuskan untuk berhenti berjuang.

Namun, Razea menyesal ketika semuanya telah usai dan dirinya sadar, lalu kembali pada kehidupan yang sebenarnya, Razea tidak bisa memperjuangkan hak Raina untuk bisa bahagia di akhir cerita.

"Saya masih merasa bingung, bagaimana bisa semua ini terjadi?" Arga menunduk sebentar, bagaimana bisa seseorang yang tengah koma, malah berada di raga orang lain?

"Itu kuasa Tuhan, Dok." Jawabnya. "Tuhan pengen aku berhenti menyalahkan takdir kehidupan yang udah Tuhan tulis buat aku. Dengan cara tunjukin kehidupan Kak Raina? Yang orang lain pikir pasti akan sempurna, padahal Kak Raina sendiri orang yang istimewa."

Arga terkekeh, lalu mengangguk mendengar pendapat Razea.

"Saya setuju."

Razea diam cukup lama, membuat Arga yang berdiri di sampingnya bingung.

"Kenapa?"

Wajah datar itu tergantikan dengan ekspresi berseri. Tangan Razea memeluk dirinya sendiri, menatap bintang-bintang yang terlihat indah di atas sana.

"Aneh aja, baru kali ini ada orang lain yang mau mendengarkan pendapat aku selain ibu sama bapak."

Sebelum Arga berkata, Razea kembali berucap,

"Aku cuma tau kehidupan Kak Raina semasa dia kecil sampe menginjak SMA. Memori tentang Kak Zaidan dan Dokter Arga masih melekat di kepala aku." Ucapnya. "Tapi, itu cuma kepingan aja. Semuanya acak, kaya film yang alurnya lambat tapi kadang cepat, dan cuma lihatin konflik aja, gak ada bahagia-bahagianya."

"Aku bisa merasakan apa yang Kak Raina rasa," Razea menggeleng. "Tapi aku gak bisa mengutarakan apa yang pengen aku katakan."

"Aku pikir semua yang aku alamin ini cuma ada di dalam buku novel, tapi aku sendiri berada di posisi itu."

"Aku juga bisa merasakan perjuangan dokter Arga kala itu." Razea memiringkan kepalanya. "Bagaimana kabar ibu dokter sekarang?"

"Baik, beliau kelihatan bugar sekarang. Terlepas dari apa yang di rasakan dulu, ibu saya jauh lebih baik. Apalagi di tambah malaikat kecil yang selalu menemani di rumah." Jawab Arga.

Kening Razea mengerut, "Malaikat kecil?"

Arga menghembuskan nafas panjang, terdapat pancaran kebahagiaan di matanya.

"Saya sudah menikah, dan di karuniai seorang putri cantik, persis seperti ibunya."

Mendengarkan penjelasan Arga, senyum bahagia terlihat di wajah Razea. Tidak perlu susah untuk menebak, siapa ibu dari anak dokter muda ini.

"Kalian resmi menikah?" Mendapat anggukan dari Arga, Razea melanjutkan. "Aku ikut bahagia, bahagia banget. Selamat!"

Arga tertawa ringan hingga kedua matanya menyipit. Rasanya, sudah lama dia tidak pernah seperti ini lagi.

"Terimakasih, Razea."

"Omong-omong, nasib tokoh lain di cerita ini, bagaimana?" Razea mundur, memilih duduk di bawah sambil menyilangkan kaki. "Aku penasaran. Nasib Zaidan bagaimana? Apa dia akhirnya di tangkap polisi? Sasha, dia masuk rumah sakit jiwa atau gak? Kayak nya iya, soalnya dia gila. Enggak, mereka berdua sama gilanya."

Arga tertawa kembali, mengikuti Razea untuk duduk di bawah.

"Tidak penasaran dengan kabar Abian?" Tanya Arga.

"Ah, itu ... " Razea merasa bingung sendiri dengan perasaannya. Entah mengapa, ada sesuatu yang membuat dadanya sesak ketika mendengar nama itu. Mungkin, rasa sakit itu terbawa hingga sekarang.


















∆∆∆

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang