[ 56 ] Thanks.

121 31 1
                                    

Rambut hitam legam itu bergerak indah di iringi angin malam yang sejuk. Langit malam dan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi terlihat sangat jelas jika di lihat di atas rooftop rumah sakit ini.

Perempuan dengan cardigan berwarna hitam itu menutup matanya sekejap, merasakan hawa dingin yang terasa di kulitnya. Besok, dirinya sudah bisa pulang dari sini.

Tante Laila dan kakak sepupu nya itu sempat datang setelah Rizki pamit pulang untuk berganti pakaian. Raina kira, beliau akan menanyakan keadaan nya. Namun, nyatanya tidak. Raina hanya mendapatkan ucapan menyakitkan.

Tante Laila mengatakan jika semua ini terjadi karena ulah Raina sendiri. Dinda yang Raina kira akan banyak di kecam, ternyata malah menyudutkan dirinya. Tante Laila memarahi Raina karena sudah membuat orang lain sakit hati entah karena apa, dan mengakibatkan mental seseorang hancur.

Entah apa yang di ucapkan Dinda pada semua orang. Yang jelas, Raina yang bersalah di sini menurut mereka. Dinda mengaku depresi berat karena Raina, dan mengidap skizofrenia.

Raina memejamkan matanya sesaat. Lalu, menengadah menatap langit malam yang di penuhi bintang-bintang. Perempuan ini tersenyum kecut, mengapa takdir seolah mempermainkan dirinya?

Lintasan ingatan tentang kebersamaan dirinya dengan mama dan papa, membuat dada nya terasa sangat sesak. Kini, kedua orang tua nya sudah resmi berpisah. Dan yang paling membuat perempuan ini sakit, fakta bahwa mama Risa menikah lagi dengan seseorang yang bahkan belum pernah dirinya temui dan tanpa persetujuan nya.

Abian, lelaki yang sudah dirinya anggap sebagai kakak sendiri ternyata hanya kebohongan belaka. Laki-laki itu tega menyeret Raina untuk masuk ke dalam masalahnya dan mengakibatkan masalah besar.

Lalu, bagaimana dengan teman-teman nya yang lain?

Perempuan ini menatap kosong ke depan, pikiran nya terus berkecamuk tanpa henti. Raina merasa tidak ada lagi orang yang peduli padanya, tidak ada orang yang menyayanginya, dan tidak ada lagi orang yang bisa dirinya percayai.

Kalimat 'pembunuh' terus terngiang di telinga Raina. Dirinya sudah tidak lagi mempedulikan siapa yang telah menghilangkan nyawa mereka. Karena pada dasarnya, dia melakukan itu karena Raina. Raina penyebab hilangnya banyak nyawa.

Dirinya adalah pembunuh, Raina adalah kriminal.

Keinginan untuk mengakhiri hidupnya terus menggerogoti hati nya. Namun, apa semua kesalahpahaman akan berakhir ketika dirinya mati? Apa dalang dari ini semua akan terungkap?

Rasanya, akal sehat Raina sudah tidak berfungsi lagi. Perempuan ini bergerak semakin dekat pada ujung rooftop. Semua nya sudah hancur, tidak ada lagi harapan baik yang selalu dirinya panjatkan.

Raina menyayangi keluarga nya, sangat. Raina selalu berdo'a untuk kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Tidak pernah sekalipun perempuan ini ingin orang-orang yang dirinya sayang merasa menderita.

Senyuman terukir di bibir perempuan ini kala mengingat lelaki yang selalu membuatnya kesal setengah mati. Raina tidak dapat mengelak, dirinya sudah mencintai laki-laki itu. Mengingat hari di mana mereka bersama walaupun singkat, ternyata terasa menyenangkan jika di kenang.

Raina hanya bisa berterima kasih dan minta maaf atas perlakuan nya yang sangat kasar tanpa mendengar penjelasan apapun. Dirinya sadar, hadirnya orang yang di sayang memang penting dalam hidup yang sudah kelam.

Namun, untuk kali ini, dirinya yang akan bergerak egois. Raina tidak tahu Zaidan memang tulus selama ini atau tidak. Yang jelas, Raina menikmati momen itu.

Perempuan ini memejamkan matanya, buliran bening yang sejak tadi dirinya tahan kini sudah membanjiri kedua pipi nya. Raina sudah pasrah, dirinya sudah putus asa dengan semua ini.

Namun, tangan lemah itu di tarik kuat dari belakang, membuat dirinya tersentak. Raina membuka matanya kala badan ringkih itu sudah berada di dalam pelukan seseorang yang kini menangis sambil melingkarkan tangannya kuat pada tubuh Raina.

"Tolong, jangan bikin gua takut. Gua gak mau, gua gak mau, Rain ... "

Raina bungkam, mendengarkan lirihan laki-laki yang mendekapnya.

"Gue gak mau kehilangan lo lagi."

Mendengar itu, Raina mengurai pelukan mereka. Dirinya menatap laki-laki yang memandang nya teduh dengan kening mengerut.

"Kak ... " Lirih Raina, meneliti wajah laki-laki di hadapan nya.

Raina dapat merasakan jika tangan yang masih melingkar di pinggang nya itu sangat dingin dan bergetar. Bibir lelaki itu pucat dengan pelipis di banjiri keringat.

***

Arga mendudukkan Raina yang berada di gendongan nya pada brankar. Laki-laki ini menatap Raina yang beralih bersandar. Inisiatif, Arga menyelimuti Raina dan duduk di hadapan perempuan ini.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari kedua mulut remaja ini. Raina yang masih kebingungan dengan sikap Arga, dan lelaki itu yang malu sendiri atas ucapan refleks nya.

Niatnya, Arga berkunjung ke sini hanya untuk memastikan jika Raina sudah tidur. Namun nyatanya, perempuan itu tidak berada di ruangan nya yang mengakibatkan kepanikan untuk dirinya sendiri.

Arga mencari Raina di bantu para suster. Dan CCTV rumah sakit menunjukkan, Raina menaiki lift menuju rooftop. Segera, dirinya berlari ke sana dan menemukan Raina yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menjatuhkan dirinya sendiri ke bawah.

Arga tidak dapat membayangkan besarnya rasa penyesalan yang laki-laki ini rasakan jika dirinya datang terlambat.

"Udah malem." Kata Arga, berharap Raina mengerti akan ucapan nya dan memilih untuk mengalihkan tatapan perempuan itu dari dirinya.

Raina masih dapat melihat dengan jelas jika mata Arga masih sembab. Sesuatu yang membuatnya merasa heran, rasa takut ketika berhadapan dengan orang lain, menipis saat bertemu laki-laki di hadapan nya.

Mengesampingkan itu semua, Raina menunduk mengingat niat untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

"Thanks. Kalo gak ada lo, mungkin gue udah bikin Iki kecewa."

Arga tidak menjawab. Ada rasa senang kala Raina sudah mau kembali berbicara dengan orang lain.

Raina merasakan pipi kanan nya hangat. Perempuan ini mendongak, kedua mata berwarna cokelat terang itu bertubrukan dengan milik Arga yang sudah berada dekat di hadapan nya.

Arga menggeleng pelan sambil membelai pipi Raina lembut, "Semua ini bukan salah lo."

Raina menatap netra di hadapan nya. Perempuan ini merasa asing dengan sikap Arga kali ini.

"Lo gak perlu percaya sama gue, gue gak pantes buat lo percayain." Arga menjeda ucapan nya sesaat. "Tapi gue janji, semua ini bakal cepet selesai." Lanjutnya.

Raina benar-benar tidak paham dengan sikap dan perkataan laki-laki yang terus menatapnya hangat.

Perempuan ini menggeleng lemah sambil berkata lirih, "Jangan bikin gue takut, Kak."

Arga membawa Raina ke dalam pelukan nya, mendekap perempuan itu hangat sambil mengelus kepala Raina dengan lembut.

Raina tidak bergeming. Sikap Arga jelas berubah drastis saat ini, membuat dirinya bingung. Rasa takut itu kini kembali, mendorong keinginan Raina untuk menjauh dari Arga.

Arga mengurai pelukan mereka kala Raina bergerak tidak nyaman.

"Zaidan mana?"

Kini, giliran Arga yang bungkam. Laki-laki ini mengalihkan pandangan ke segala arah agar tidak menatap mata Raina.

"Kak?"

Arga menunduk sekilas, "Zaidan besok ke sini."

Raina mengangguk paham, "Lo di suruh Zaidan ke sini?"

Arga mengangguk samar. Laki-laki itu beralih duduk di sofa, membaringkan tubuhnya dan menutup kedua mata menggunakan lengan kekarnya. Raina juga melakukan hal sama, perempuan itu berbaring dan membelakangi Arga.












∆∆∆

Bukan Aphrodite  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang