Meli mengemudi sambil melirik anaknya yang duduk di car seat. Dia baru saja menemui temannya yang seorang psikolog. Temannya menyarankan untuk mengikuti kursus agar tidak terlalu memikirkan suaminya dan stres karena hanya di rumah saja.Temannya meminta Meli untuk kursus membuat kue, tapi wanita itu menolak mentah-mentah. Memasak yang gampang saja dia tidak becus, apalagi memasak kue yang cukup rumit. Bisa-bisa Meli semakin stres karena kuenya selalu gagal.
Meli mengedarkan pandang hingga melihat sebuah lembaga kursus melukis di ruko yang cukup kecil. Tanpa sadar dia tersenyum, tahu kursus apa yang ingin dia lakukan.
"Permisi!" Meli berdiri di depan pintu ruko. Dia melihat dua bocah yang duduk saling memunggungi. Kemudian dia mengedarkan pandang melihat lukisan yang tertempel di dinding. "Bagus," pujinya tanpa sadar.
"Ada yang bisa saya bantu?" Arina berjalan mendekat.
"Bisa ngajarin saya lukis?" Meli menatap wanita bercardigan krem itu, merasa si pengajar lebih muda darinya.
"Tapi, ini khusus untuk anak sekolah, Kak," jawab Arina lembut.
"Saya butuh melukis untuk mengalihkan pikiran saya. Pusing saya mikirin suami." Meli memijit pelipisnya pelan.
Arina tersenyum kaku. Dia menilai wanita di depannya sedang mengalami masalah berat. Benar, melukis menjadi salah satu terapi untuk menghilangkan stres. Namun, Arina harus pikir-pikir jika mengajari wanita di depannya. Dia tidak ada dasar ilmu psikologi.
"Tolong bantu saya. Berapapun saya bayar," bujuk Meli.
"Bukan masalah itu sebenarnya, Kak." Arina tampak kesulitan menjawab. "Tapi, saya hanya mengajar anak sekolah. Yang datang anak kecil seperti mereka."
Meli terdiam. "Saya kursus privat. Kamu bisa datang sesukamu."
Arina mulai berpikir. Dia pernah mengajar privat dengan datang ke rumah, tapi itu dulu saat masih kuliah. Sebenarnya cukup menjanjikan. Dia banyak direkomendasikan orangtua dari anak didiknya. Dulu juga banyak anak didik yang dia ajar.
"Ini kartu nama saya. Tolong hubungi kalau bisa." Meli segera menyerahkan kartu nama. "Tolong bantu saya!" Setelah mengucapkan itu Meli beranjak.
Di posisinya, Meli menatap kartu nama itu. Dia mengernyit melihat jabatan Meli yang sebagai wakil direktur. "Dia bukan orang sembarangan."
"Bu Arina. Sudah!"
Perhatian Arina teralih. Dia mendekati anak didiknya kemudian mengambil hasil gambarannya. "Yang ini Ibu pajang, ya! Pelajaran hari ini selesai!"
Mikha yang masih bersembunyi di balik meja perlahan melongok. Dia tidak mendapati wanita yang mengenakan setelan kantor tadi. Mikha refleks menyentuh dada kemudian duduk di kursi semula.
Arina menatap Mikha yang bercucuran keringat. "Lo kenapa?"
"Barusan!" Mikha menunjuk ke arah pintu.
"Barusan anak-anak pulang," jawab Arina sambil mengedarkan pandang. Dari kejauhan dia melihat kakak beradik itu dijemput oleh mobil berwarna putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin