Entah sudah berapa lama Mikha tidak melihat hamparan kebun teh yang memanjakan mata. Ibu-ibu pemetik teh terlihat terampil dengan topi lebar yang melindungi kepala. Kebun teh itu ibarat pegunungan tinggi tapi juga penuh dengan labirin.
Pandangan Mikha tertuju ke langit berwarna biru cerah. Dia melihat beberapa burung terbang dengan bebas. Mikha tersenyum saat melihat sebuah kupu-kupu terbang terlalu dekat dengan wajahnya. Tangannya terulur, tapi kupu-kupu itu terbang semakin tinggi.
"Seneng?" tanya Giran yang berdiri di samping Mikha. Dia mengarahkan kamera, melihat kebun teh yang berada di bawahnya.
Mikha mendekat dan menyandarkan kepala di lengan Giran. "Suasana kayak gini bikin tenang. Andai kita tiap hari ke sini."
Giran terkekeh pelan. "Sayangnya kerjaan kita di kota," jawabnya. "Lebih pilih mana kota atau desa?"
Pandangan Mikha terarah ke depan. "Butuh dua-duanya," ungkapnya. "Aku butuh kota buat kerja dan aku butuh desa buat melepas lelah."
"Kalau gitu kamu harus punya dua rumah."
"Ish! Uangku nggak sebanyak itu." Mikha mendorong pipi Giran. "Kecuali kamu beliin rumah buat aku."
Giran mematikan kamera lalu menatap Mikha. "Aku aja masih tinggal sama orangtua, Mik. Beli apartemen aja belum."
Mikha melepas genggaman. "Aku juga gitu. Beli gara-gara tabungan dari papa. Dulu papa emang bilang pengen beli apartemen."
"Ya. Aku inget waktu Om bilang gitu." Giran menarik Mikha melewati jalan setapak di antara pohon teh yang menghijau.
Sudut bibir Mikha tertarik ke atas. Tiba-tiba ide jailnya bermunculan. "Sayang. Kamu nggak mau gendong aku?"
Langkah Giran seketika terhenti. Dia berbalik, melihat Mikha yang mengangguk dengan senyum malu-malu. "Gendong?"
"Hmm...." Mikha kemudian mendongak, melihat ada daratan yang lebih tinggi daripada posisinya. "Gendong ke sana!" Dia menunjuk ke arah puncak.
Giran melihat jalan setapak yang menanjak. Dia kemudian menatap Mikha yang menatapnya memohon. "Mik, yang bener aja."
"Buktiin kalau kamu cinta sama aku!" ujar Mikha.
"Kurang bukti apa lagi, Mik?"
"Ish! Nggak asyik!" Mikha pura-pura ngambek dengan berjalan lebih dulu. Namun, setelah lima langkah dia tidak mendengar suara Giran. Refleks dia menoleh dan melihat Giran yang membuang muka. "Ish! Nggak peka!"
Giran menahan tawa, sudah hafal dengan tingkah Mikha yang sok ngambek. "Aku pengen lihat kamu ke sana sendirian."
"Nggak asyik!" geram Mikha kemudian melanjutkan langkah.
Diam-diam Giran memperhatikan. Dia tersenyum, melihat cara jalan wanita itu yang tampak ringan. Dari dulu, Mikha sama sekali tidak pernah membawa beban hidupnya. Wanita itu tahu bagaimana cara menikmati hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin