"Gue....""Kenapa?"
"Gue...." Mikha menarik bibirnya ke dalam. "Malu!" Kemudian menyentak tangan Melvin dari atas kepalanya.
"Jadi, malu?"
"Menurut lo?" Mikha berteriak. Dia menarik tangan Melvin lalu menggantungkan kantung itu di sana.
Melvin membuka kantung itu dan tidak mendapati permen dan cokelat. Kemudian dia menahan tawa. "Ada yang kurang, deh. Kayaknya gue tadi beli yang manis-manis."
"Oh, lo minta ganti? Oke!" Mikha berbalik.
"Nggak usah...." Melvin segera menarik tangan Mikha. Dia menatap wajah Mikha yang sedikit mengkilat seperti sedang memakai skincare. "Sebenernya bisa balikin ini besok pagi."
Mikha berdiri dengan kedua tangan meremas sisi celana. "Sebenernya gue pengen tanya beberapa hal."
"Soal bikin kado? Sorry! Gue nggak bisa!" Melvin segera menarik pintu dan hendak menutupnya.
"Gue mau curhat!" jawab Mikha cepat. Dia melihat pintu itu tidak jadi tertutup. Mikha tersenyum kecil, menatap Melvin sedikit memohon.
Melvin berbalik, melihat laptop yang masih menyala dan sepiring nasi yang tinggal setengah. Kemudian dia menatap Mikha yang terlihat memohon. "Ya udah, masuk!" Dia berbalik dan duduk di sofa single.
Mikha mengikuti. Dia mengedarkan pandang, melihat tempat itu sedikit lebih rapi daripada beberapa saat yang lalu. "Ini soal pacar gue, Vin." Mikha memilih to the point sebelum berubah kepikiran.
"Kenapa lagi pacar lo?"
"Tiap bahas pernikahan dia selalu aneh. Itu artinya apa?"
"Dia nggak siap nikah," jawab Melvin cepat. "Mungkin perasaannya berubah."
Mikha melotot mendengar jawaban itu. Sedangkan Melvin langsung menutup mulut. Dia menggaruk belakang kepala kemudian tersenyum kecil.
"Lo kok tega ngomong gitu?" Mikha mengerucutkan bibir. "Hibur atau apa gitu. Kan, lo tahu gue curhat." Dia membuang muka, tindakan gegabahnya mulai membuatnya menyesal. Tapi sungguh, dia butuh teman cerita sementara Arina tidak bisa dihubungi.
Melvin mengembuskan napas pelan. Dia memajukan tubuh, memperhatikan Mikha yang mulai menangis. "Gue nggak pernah hibur seseorang, justru bikin dia makin sakit hati."
Mikha menunduk dengan kedua tangan saling menggenggam. Kedua kakinya bergerak pelan kemudian mengangkat wajah. Dia melihat Melvin yang tersenyum, seperti sedang menghiburnya. Namun, dia tahu Melvin tidak mungkin melakukan itu.
"Gini, sebagian orang nggak bisa, Mik ngasih tahu rencana mereka ke depannya." Melvin mulai memberi pengertian. "Mungkin lo bisa dengan mudah ungkapin apa yang lo rasain, tapi pacar lo kebalikannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin