Dua orang dengan setelan kantor itu duduk berhadapan di ruang meeting. Mereka saling menatap dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Sekarang masih jam kantor, tapi sepertinya dua orang itu tidak bisa tetap profesional. Ada masalah hati yang harus diselesaikan.
"Aku tadi ke tempat Mikha," ujar Devina dengan suara pelan. Dia tidak ingin orang lain curiga saat mendengar ucapannya. Ditambah, dia beralasan ke teman-temannya sedang rapat. Oke, ini memang bukan gayanya sama sekali, tapi dia terpaksa melakukan ini.
"Ngapain?" Giran memajukan tubuh. "Kamu nggak nyakitin dia, kan?"
Devina mengangkat bahu. "Meski rencanaku nggak mau nyakitin, tapi tetep aja kan nyakitin dia?"
"Hmm...." Giran mengacak rambutnya frustrasi. "Ini semua salahku."
"Salah kita," jawab Devina cepat. "Aku sendiri juga nggak bisa tahan perasaanku, kalau aku sayang kamu. Kamu juga gitu."
Giran mengepalkan tangan. "Andai waktu itu kita nggak meeting bareng."
"Mungkin ada pertemuan lainnya," jawab Devina. "Kamu nggak tahu takdir kita bakal gimana, Ran. Pilihannya cuma dua. Kamu jalanin takdir itu atau mengelak. Tapi, bisa jadi kamu kembali ke takdirmu."
"Aku ngerasa bersalah ke Mikha," ujar Giran dengan suara pelan.
"Aku juga."
"Aku mau hubungan kita selesai."
Devina seketika berdiri. Dia menatap Giran yang menunduk tanpa berani menatapnya. Dia tahu lelaki itu frustrasi. Namun, tidak seharusnya mengambil keputusan di saat seperti ini.
"Dari awal kita emang nggak ada hubungan." Giran mengangkat wajah menatap Devina yang terlihat marah. "Kamu yang anggap kita pacaran."
"Ck!" Devina membuang muka sambil bersedekap. "Tapi, emang ada perasaan, kan?"
Kedua tangan Giran terkepal. Dia menatap Devina yang air matanya mulai turun. Belum genap dua puluh empat jam, dia menyakiti dua wanita sekaligus. Kenyataan itu membuat Giran semakin merasa bersalah.
"Kamu ada perasaan ke aku, kan?" Devina menatap Giran tak sabaran. "Bilang, Giran! Jangan bikin aku kayak gini."
Giran berdiri, mengambil berkasnya kemudian keluar dari ruangan. Sekarang, dia butuh tempat tempat sepi untuk menenangkan diri.
"Giran!" Devina berlari keluar dan melihat lelaki itu tidak kembali ke kubikelnya.
Teriakan Devina membuat beberapa karyawan menatapnya. Mereka bertanya-tanya, karena tidak biasanya Devina seperti itu. Kemudian mereka menatap Giran yang berjalan menjauh. Lelaki itu terlihat tidak sopan.
Kedua tangan Devina terkepal. Dia memejamkan mata lalu air matanya semakin berdesakan keluar. "Hati gue hancur."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin