"Papa!"Gadis berusia sembilan tahun itu berjalan sambil mencengkeram pegangan permen kapas. Dia mengedarkan pandang, melihat pengunjung pasar malam yang membeludak. Tubuhnya yang lebih pendek dari anak seusianya, membuat lehernya terasa pegal karena terus menengadah.
"Papa!" Gadis itu mulai ketakutan kala melihat para lelaki dewasa yang memperhatikannya. Dari pandangannya, dia merasa lelaki itu berniat menyakitinya. "Hiks, Papa!" Kemudian dia berjalan mengikuti orang-orang yang berjalan ke satu arah.
Air mata gadis itu terus turun. Suara musik dari odong-odong tidak lagi membuatnya tertarik. Lampu warna-warna dari biang lala tidak membuatnya terhibur. Satu yang dia rasakan, takut.
"Papa!" Gadis itu mencoba berlari, tapi kakinya seolah terpatri. Dia lantas berhenti, membuat tubuh kecilnya berkali-kali tersenggol para pengunjung. Dia memejamkan mata, terlalu takut dengan apa yang terjadi.
Sekarang, bulu kuduk Mikha meremang. Kenangan buruk di masa kecil kembali bermunculan. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Seolah terlalu banyak orang hingga saling berebut oksigen. "Huh... Huh...."
Duk....
Tubuh Mikha terdorong ke depan. Dia menoleh, melihat wisatawan asing yang berjalan sempoyongan. Mikha refleks bergerak mundur lalu mengedarkan pandang. "Ini di mana?" gumamnya lalu melanjutkan langkah.
Mikha berjalan agak cepat sambil mengingat jalan yang dilewati. Hingga, dia merasa ada seseorang yang mengikutinya. "Jangan-jangan orang tadi," gumamnya dengan bibir bergetar. Dia mempercepat langkah dengan kedua tangan menggenggam tali tas.
Srek... Srek... Srek....
Mendengar langkah kaki yang semakin menjauh, Mikha kian kalut. Bayangan masa kecilnya yang pernah hilang di pasar malam seketika menyeruak. Jika dulu, dia masih bisa lega karena papanya berhasil menemukannya. Namun, sekarang pelindungnya sudah tidak ada. Dia di tempat asing dan sedang sendirian.
Dap....
"Aaaaa!" Mikha menjerit saat ada yang menarik pundaknya hingga dia berbalik menghadap seseorang yang mengikutinya.
Mikha mengerjab, melihat seseorang dengan keringat di pelipis yang membasahi. Dia belum bisa melihat wajahnya karena lelaki itu tepat membelakangi lampu yang begitu terang. Matanya memicing, sebelum akhirnya dia menunduk dan melihat sepasang sepatu putih yang sering dikenakan seseorang.
"Lo ke mana, sih?"
"Mel... Melvin?" Mikha mengangkat wajah. Barulah dia bisa melihat jelas wajah Melvin. Bibirnya bergetar menahan isakan. Kedua tangannya yang mencengkeram tas perlahan turun. Lantas dia maju selangkah dan memeluk Melvin berat. "Thanks... Thanks...."
Tubuh Melvin menegang. Rasa marah yang sejak awal menguasai, perlahan menghilang. Dia merasakan tubuh Mikha bergetar dan pelukan di punggungnya terasa begitu erat. "Huh...." Melvin menekan egonya lalu mendekap Mikha erat. "Jangan takut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
Ficción General[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin