Bip....Melvin membuka pintu apartemen dengan tubuh sempoyongan. Dia berjalan menuju sofa kemudian berbaring terlentang. Matanya menatap langit-langit dengan nyalang, tapi pandangannya sedikit mengabur. "Sial!" Melvin menutup matanya dengan lengan.
Dari arah pintu, Meli mendengus melihat adiknya. Dia mendekat kemudian memukul lengan Melvin. "Pindah kamar sana!"
"Males," jawab Melvin dengan suara lemah. Dia membuka mata lebih lebar hingga melihat Meli yang menunduk ke arahnya.
Meli menahan tawa melihat adiknya yang hampir kehilangan kesadaran. Dia beranjak menuju sofa single kemudian menyelonjorkan kaki di atas meja. "Apa yang bikin lo tiba-tiba minum banyak?"
"Frustrasi." Melvin menarik rambut kemudian berbaring miring. "Thanks udah nemenin."
"Lo adik gue, Vin. Nggak mungkin ninggalin lo," jawab Meli sambil memejamkan mata. Dia teringat beberapa jam yang lalu saat Melvin mengajak keluar dan minum. Meli sempat merasa aneh karena setelah sekian lama Melvin tidak pernah mengajaknya pergi. Dia sempat kehilangan Melvin yang sering membantu dan ada di sampingnya. "Ini semua karena wanita itu!"
Melvin seketika tersentak. Dia menatap Meli yang berdiri sambil bertolak pinggang. "Mending lo tidur daripada ngoceh."
"Bener, kan? Ini semua karena wanita itu?" Meli menatap Melvin tajam.
Sudut bibir Melvin tertarik ke atas. Dia terbayang wanita pecinta kopi. Beberapa minggu sekali wanita itu menggiling kopi kemudian memberikannya ke Melvin. Bahkan Melvin sampai membeli mesin penggiling terbaik untuk wanita itu.
"Vin. Sampai kapan?" tanya Meli sambil mengempaskan tubuh di sofa.
Melvin mengubah posisinya menjadi duduk. Dia mengusap wajah kemudian duduk tegak. "Gue juga nggak tahu sampai kapan."
"Wanita itu udah nggak mikirin lo, Vin!" Meli berteriak. Mungkin ini terkesan jahat, tapi dia ingin adiknya itu segera sadar.
"Nggak mikirin?" tanya Melvin sambil menahan tawa. "Hahaha...." Dia tertawa sumbang. Kemudian kepala tertunduk dan wajahnya terlihat sedih.
Meli beranjak ke samping adiknya. Dia mengusap pundak Melvin memberi semangat. "Nggak seharusnya lo hidup kayak gini terus."
Melvin mengangguk lalu menutup mata dengan satu tangan. Rasanya dia enggan teringat kejadian dulu. Namun, bayangan itu masih saja muncul dengan sendirinya.
"Banyak wanita yang bisa sayangin lo, Vin." Meli memeluk Melvin dengan sayang. Meski sering bertengkar, Meli paling tidak bisa melihat Melvin bersedih. Dia paling tidak bisa berjauhan dengan adik satu-satunya itu.
"Ya. Gue tahu." Melvin mengangkat wajah kemudian tersenyum samar. Banyak wanita di sana dan Melvin bisa memilih salah satunya. Namun, sejauh ini hatinya selalu menginginkan satu wanita. Dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin