56-Tempat Impian

87 17 0
                                    

Cuaca tropis yang panas menyambut Mikha yang baru keluar dari bandara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cuaca tropis yang panas menyambut Mikha yang baru keluar dari bandara. Matahari bersinar terik, membuat kulit siapa saja pasti akan terasa terbakar. Namun, tidak menyurutkan semangat wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat bernama Pulau Dewata. Termasuk Mikha.

Mikha sudah melepas jaketnya begitu berada di pesawat, menyisakan kaus model crop top putih dengan lengan berkerut. Dia menenteng tas selempangnya di pundak kiri sementara tangan kanannya menggeret koper.

Begitu keluar, Mikha melihat ada seseorang yang membawa papan bertuliskan namanya. Seketika dia melambaikan tangan dan lelaki itu mendekatinya. "Selamat siang."

"Selamat siang. Kak Mikha dari Jakarta?"

"Iya...." Mikha mengangguk. Lelaki itu langsung mengambil alih kopernya dan menggerakkan tangan ke sisi sebelah kiri. Mikha lalu berjalan mengikuti sambil tersenyum samar.

"Mari, Kak."

Mikha masuk ke mobil avanza putih dan duduk di sebelah kanan. Dia memangku tasnya lalu menatap keadaan di luar. Terlihat wisatawan asing yang berjalan sendiri sambil membawa dua buah koper. Ada pula wisatawan yang sepertinya masih sekolah liburan bersama teman-temannya.

"Gimana perjalanannya tadi, Kak?"

Perhatian Mikha seketika teralih. "Lancar. Beruntung nggak delay."

"Cuaca cerah. Di Jakarta enggak?"

"Tadi sempet gerimis bentar," jawab Mikha. "Sempet panik takut delay. Ternyata enggak."

"Beruntung kalau gitu."

Mikha tersenyum samar. Dia kembali menatap ke jalanan luar. Akhirnya, dia bisa liburan jauh seorang diri. Baginya itu sebuah pencapaian besar. Mikha lalu mengeluarkan notesbook dan melihat bucket list yang sudah dia buat jauh-jauh hari. "Nanti bakal lihat sunset," gumamnya lalu seulas senyum terbit.

***

"Dia udah sampe harusnya."

"Siapa?"

Melvin meletakkan ponsel lalu kembali menatap laptop. "Bukan siapa-siapa."

Fatih memperhatikan keponakannya yang sejak tadi gelisah. Melvin datang terlambat, katanya ada urusan keluarga. Sementara dia tahu tidak ada hal penting yang terjadi. "Keluarga mana yang tadi kamu urus?"

"Ha?" Melvin menoleh dan melihat kilat jail pamannya. "Emm, tadi nganter temen bentar. Tapi, yang penting nggak telat rapat, kan?"

"Iya, sih. Tapi, terus gelisah." Fatih berdiri lalu mengambil minuman di kulkas kecil samping meja kerjanya. "Vin...." Kemudian dia melempar botol itu.

"Paman!" jerit Melvin. Beruntung, botol berisi air mineral itu tidak jauh ke laptopnya. Dia geleng-geleng sementara pamannya tidak merasa bersalah.

Fatih duduk di kursi dan melihat Melvin yang masih membereskan pekerjaannya sebelum nanti sore meeting dengan klien. "Udah setahun lebih berapa, Vin?"

Please, Say GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang