Melvin duduk sambil menyangga dagu. Satu tangannya mengaduk kopi, hingga beberapa cairan tumpah di meja. Sayangnya, dia tidak menyadari itu. Pikirannya masih tertuju ke wanita yang ditinggalkan di apartemen."Melvin. Kopi lo tumpah."
"Ah!" Melvin tersentak kaget. Dia menoleh dan melihat di sekitar cangkir yang menjadi basah. Melvin mengambil tisu dan membersihkan noda itu. Setelah itu dia kembali duduk sambil bertopang dagu.
Meli memperhatikan Melvin yang tiba-tiba datang dengan wajah suntuk. Mata lelaki itu terlihat merah dan bengkak. Sepertinya Melvin belum sempat tidur, terlihat dari cara lelaki itu menatap yang sedikit kosong. "Ada masalah?"
Melvin melirik kakaknya yang duduk di hadapannya. Dia mengangkat cangkir kemudian menyesap minumannya. "Biasa aja."
"Kalau biasa aja kenapa wajah lo gitu?" Meli mengambil dua tangkup roti lalu meletakkan di atas cangkir kopi Melvin. "Gue yakin lo belum makan."
"Hmm...." Melvin mengambil roti itu dan memakannya. "Bayangin kalau lo pacaran sebelas tahun terus putus. Gimana perasaan lo?"
Satu alis Meli tertarik ke atas. "Sedihlah. Mungkin kepikiran buat bunuh diri."
"Uhuk...." Melvin tersedak lalu menatap kakaknya yang mengernyit. "Bunuh diri?"
Meli menahan tawa. "Kalau gue enggak!"
"Terus, kenapa lo jawab bunuh diri?" tanya Melvin dengan nada meninggi. Dia mengambil kopi dan meminumnya hingga tandas. "Jangan bikin pikiran gue makin kacau!"
"Apaan, sih lo!" Meli heran dengan tingkah aneh adiknya. "Pertanyaan lo aneh. Kenapa, sih? Putus cinta lagi?"
Melvin mengembuskan napas pelan. "Seseorang."
"Siapa?" Meli memajukan tubuh. Kemudian dia tersenyum ingat dengan seseorang yang dekat dengan Melvin. "Mikha putus sama pacarnya? Kesempatan ini."
"Ck! Dia lagi sedih. Gue nggak mungkin ambil kesempatan." Melvin membuang muka. Dia tidak akan berbuat modus kepada orang yang sedang mengalami kesulitan.
Meli menahan tawa. "Terus, sekarang dia di mana?"
"Di apartemen." Melvin menunduk. "Gue kepikiran kalau sendirian dia kenapa-napa. Tapi, kalau gue yang nemenin nggak enak."
"Gue telepon guru lukis gue."
"Ngapain nelepon guru lukis?" geram Melvin.
"Lo nggak tahu?" Meli tersenyum mengejek. "Guru lukis gue sahabat Mikha. Gue rasa Arina perlu tahu soal ini." Setelah mengucapkan itu Meli berjalan menuju kamar.
Melvin seketika mengikuti. "Lo kenal sahabatnya?"
Meli mengangguk sambil mencari nomor guru lesnya. "Kenapa? Pengen tahu Mikha kayak gimana? Gue udah tanya ke Arina. Sayangnya gue nggak bisa kasih tahu lo. Salah sendiri tadi bilang nggak mau cari kesempatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin