Dua tahun lalu."Lo di mana ini?"
Sebuah ponsel menunjukkan wajah seseorang yang memenuhi layar. Bibir wanita itu mengerucut, sebelum akhirnya wajah itu menjauhi kamera. Membuat orang lain yang melihat makin gemas untuk mengerjai.
"Lagi di Chiayi," jawab Arina sambil menatap bangunan yang semakin meruncing ke atas. Bangunan bernuansa vintage, tapi masih terlihat terawat dengan halaman yang luas. Sayang, tidak banyak pepohonan.
"Chiayi itu di mana, Neng?" Mikha mendengus ke sahabatnya yang ternyata sedang plesiran. Wanita itu sempat mengirimi foto sedang berada di pesawat, tanpa memberi tahu tujuannya.
"Lokasi syuting Meteor Garden."
"Yang bener, lo?"
Arina tersenyum melihat Mikha melotot tak percaya. "Nih, gue lihatin!" Dia mengubah kamera belakang dan menunjukkan pemandangan sekitar. "Gimana, bisa bayangin F-Four mau ngampus, nggak?"
"Aaaa! Gue iri!"
"Makanya ke sini," jawab Arina sambil berjalan ke sisi lain. "Gue hampir kesasar. Padahal, dari awal udah gue hafalin National Chung Cheng University mulu. Pas nyampe sini lupa. Untung ada yang ngasih tahu."
"Rin! Gue iri."
Arina kembali mengubah ke kamera depan. Dia tersenyum masam, kasihan ke sahabatnya itu. Anak akhir sembilan puluhan pasti mengerti betapa bekennya Metor Garden lalu ikut-ikutan membentuk geng di sekolah. Bahkan banyak yang halu ingin seperti San Chai yang dapat pacar kaya nan tampan seperti Dao Ming Si.
Mikha dan Arina seperti itu. Meski mereka baru bertemu di SMA, mereka banyak cerita tentang masa sekolah. Hingga mereka sama-sama tahu jika fans berat Meteor Garden. Arina ternyata yang lebih beruntung karena bisa datang ke lokasi syutingnya langsung.
"Ternyata, masih ada aja wisatawan yang ke sini," ujar Arina sambil melihat segerombol orang yang berfoto di dekat pohon. "Andai ada lo pasti lebih menggila."
"Coba, gue pengen lihat jembatan tempat mereka pacaran."
"Berani bayar berapa?"
"Arina!"
"Hahaha...." Arina menarik napas panjang, menikmati suasana yang cukup tenang. "Nanti gue hubungi...."
Duk....
"Aduh...." Kalimat Arina seketika terpotong kala ada yang menabraknya dari samping kiri. Dia menoleh, melihat seorang lelaki yang memungut map berisi gambar-gambar. "Bagus," pujinya tanpa sadar.
"Rin... Lo nggak apa-apa, kan?" Mikha cukup menyaksikan saat kamera goyang lalu temannya itu mengaduh kesakitan.
"Nanti gue hubungi lagi," ujar Arina lalu mematikan sambungan. Setelah itu dia membungkuk dan ikut memungut kertas-kertas yang berserakan itu. "Wõ bùshì gùyì de—maaf nggak sengaja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin