Melvin bersedekap memperhatikan Giran yang menunduk memandangi Mikha. Dia tetap harus berjaga-jaga jika Mikha tiba-tiba bangun dan histeris. Terlebih, saat berhadapan dengan Giran. "Puas bikin Mikha kayak gini?"
Giran tidak menjawab. Dia menyentuh tangan Mikha dengan menggenggamnya erat. "Maaf, Mik. Aku nggak bisa tepatin janji."
Satu alis Melvin tertarik ke atas, menebak janji apa yang dimaksud. "Lo nggak tulus sama Mikha?"
"Tulus!" jawab Giran lebih kencang. "Lo bisa diem dan jangan ganggu?"
Melvin mundur selangkah. "Gue kasih lima menit. Takut Mikha bangun dan kondisinya makin parah setelah lihat lo."
Giran tidak menggubris. Dia menunduk sambil mengeratkan genggaman, ternyata genggaman itu tiba-tiba bergerak. Giran mengangkat wajah, melihat Mikha yang masih memejamkan mata, tapi sudut matanya berair. "Mikha."
Melvin langsung mendekat. Dia melihat Mikha menangis kemudian pundaknya bergetar. "Keluar lo!" Melvin menarik krah kemeja Giran. "Keluar!"
"Lepas!" Giran mencoba melepaskan diri. Dia kembali mendekati ranjang, tapi Melvin kembali menariknya.
Hati Mikha kembali teriris mendengar suara Giran. Dia marah sekaligus muak mendengar permintaan maaf itu. Meski hatinya masih mengharapkan kehadiran Giran. Dia memejamkan mata rapat-rapat, tidak ingin terbangun dan menghadapi kenyataan.
***
"Lo puas nyakitin Mikha?"
Giran menunduk, melihat ada kopi kemasan yang diulurkan dari bawah kepala. Dia mendorong kopi itu, tapi Melvin tetap mendekatkan. "Ck!" Terpaksa dia mengambil lalu meletakkan di samping tubuh.
Melvin duduk menghadap depan sambil menyeruput kopi instan yang dibeli di cafetaria rumah sakit. Duduk tenang sambil menyeduh kopi membuat pikiran yang sebelumnya seperti benang kusut kini perlahan terurai.
"Dia nggak kenapa-napa, kan?" tanya Giran sambil menatap Melvin. "Jangan coba tutup-tutupi."
"Dia kenapa-napa." Melvin memilih berkata apa adanya, tidak akan menyembunyikan keadaan Mikha. Buat apa pura-pura kuat jika kenyataannya tidak seperti itu? Terkadang pura-pura kuat membuat orang yang begitu peduli kepada kita terpaksa terpukul mundur, karena kelihatanya kita baik-baik saja.
Giran menepuk kening beberapa kali. "Gue punya janji ke papa Mikha."
"Tahu," jawab Melvin cuek. "Emang bener kata orang, jangan sembarangan ngasih janji."
Giran bukannya menyesal dengan janji itu. Namun, kondisinya sekarang mulai berbeda. Perasaannya mulai berubah. Dia tidak bisa membohongi diri, jika kehilangan rasa ke Mikha.
Melvin menatap Giran yang tampak frustrasi. "Terus Devina?"
"Dia senior gue," ujar Giran dengan senyum getir. "Awalnya cuma kagum, tapi lama-lama muncul perasaan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin