Hari Minggu sore memang paling nikmat jika ditemani dengan segelas kopi dan cemilan manis. Duduk bersama sahabat sambil diiringi tawa membuat suasana kian hangat. Seperti yang Mikha jalani sekarang. Dia duduk di kafe seberang apartemen bersama Arina, sahabat satu-satunya.
"Gimana kerjaan lo?" tanya Arina setelah menutup buku gambarnya.
Mikha duduk bersandar sambil menyomot cookies. "Yah. Gitu-gitu aja," jawabnya. "Ada yang telepon komplain tanya pengembalian dana."
Arina tersenyum menatap Mikha yang sudah lima tahun bekerja sebagai customer service di Mars e-commerence. Sahabatnya itu memang pandai berbicara. Walau dia sempat khawatir karena Mikha terkadang memiliki emosi yang meledak-ledak. "Kalau jadi lo pasti udah gue marahin."
"Yang ada lo dipecat." Mikha mengambil secangkir kopinya dan menyeruputnya pelan. "Gue heran gimana bisa lo jadi guru lukis? Murid lo nggak pernah lo tabok, kan?"
"Enak aja!" Arina terlihat tidak terima. Kedua tangannya bahkan terangkat ingin memukul. "Untung jauh."
Mikha menjulurkan lidah. "Kasihan tahu, anak orang jangan dimarahin."
"Kayak lo nggak gampang marah aja." Arina mengambil kentang goreng di depannya. "Nggak pernah gue marahin."
"Baguslah kalau gitu." Mikha menyeruput kopinya lagi. Dia menoleh ke arah luar, melihat bangunan depan apartemennya yang terlihat sedikit ramai. Di sana juga ada mobil terbuka yang keluar masuk. "Ah! Gue punya tetangga baru."
"Tetangga baru?" tanya Arina memastikan. "Baguslah. Lantai apartemen lo biar nggak horor. Serem lama-lama."
Mikha meletakkan secangkir kopinya lalu kedua tangannya terlipat di depan dada. "Emang bagus, sih, ada yang nempatin," ucapnya. "Tapi, kayaknya orang yang ngeselin, deh."
Arina mengernyit. "Emang kenapa? Dia ngerokok di lorong?"
"Dia udah istri. Tapi, masa dia mau ke apartemen kalau pas udah sepi?" Mikha tampak sebal. "Enaknya diapain tuh, orang?"
"Dia ganteng nggak?" tanya Arina sengaja agar emosi Mikha tidak meledak. Wanita itu tidak tahu tempat jika sedang emosi. Ujungnya, dia akan malu sendiri. Yah, sebenarnya dia dan Mikha sebelas-dua belas.
Mikha mengernyit, menurutnya itu pertanyaan di luar topik. Dia lalu membayangkan tetangga barunya. "Dari segi fisik emang ganteng. Tubuhnya kekar gitu. Tapi, buat apa kalau kelakuannya buruk?"
"Kali aja lo mau dijadiin yang kedua. Hahaha...." Arina terbahak setelah mengerjai sahabatnya.
Satu tangan Mikha terangkat ingin memukul kepala Arina. "Gue serius, kali."
"Gue juga serius," jawab Arina. "Kali aja dia mau serius sama lo."
"Gue masih punya Giran, Rin!" jawab Mikha penuh penekanan. "Giran jauh lebih ganteng daripada tetangga baru itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin