"Lo bikin gue canggung."
Mikha mengernyit. Kapan dia membuat Melvin canggung? Sepertinya dalam perjalanan pulang tidak ada sesuatu yang terjadi. "Jangan alasan."
Melvin tersenyum kecut. Mikha sepertinya tidak akan percaya dengan penjelasannya. Jadi, percuma, kan, mengutarakan? "Udah sana. Gue cuma mau cari makan."
"Bener?"
"Lo mikirnya apa?"
"Hehehe...." Mikha tersenyum geli. "Lo lagi patah hati. Gue takut...."
"... gue nggak seceroboh itu, kali," potong Melvin lalu menyentil kening Mikha. "Sana masuk! Gue udah kelaperan."
"Ya udah, iya!"
"Cepet!"
"Ih, iya!" Mikha menghentakkan kaki lalu berbalik. Dia menggaruk tengkuk, merasa bodoh dengan tingkahnya barusan. "Dia lebih patah hati dari gue dan bisa bangkit lagi. Ngapain gue sekhawtair itu?" Mikha geleng-geleng.
Di teras depan, Melvin masih berdiri di posisinya. Dia melihat Mikha yang berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba menoleh. Dia melambaikan tangan sekilas, tapi wanita itu buru-buru berbalik. "Dasar bodoh," gumamnya lalu diakhiri dengan senyuman.
Melvin berbalik, berjalan menuju kafe depan. Harusnya tadi dia tidak menghindar. Mungkin, dia bisa makan malam bersama Mikha. Namun, dia terlalu takut dengan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
"Makasih, udah khawatirin gue." Melvin tersenyum.
Ketika sedang patah hati, Melvin benar-benar kesepian. Hanya Meli dan keluarganya yang terus memberi dukungan. Dia memiliki banyak teman, tapi ternyata mereka tidak sepeduli itu. Mereka datang hanya untuk mencari tahu apa yang terjadi kepadanya. Setelah itu, menyebarkan berita itu ke anggota teman lainnya.
Gagal menikah tentu Melvin malu dan tertekan. Di kepalanya terus terbayang ekspresi orang-orang yang menatapnnya kasihan atau bahkan mentertawakannya. Karena itulah dia menutup diri. Selain keluarga, tidak ada yang menemaninya.
Kali ini, Melvin sepertinya mendapat hadiah dari Tuhan karena Mikha mau menemaninya. Bahkan, mengkhawatirkannya. Padahal, dia tidak seceroboh Mikha. Baginya, hidupnya lebih penting daripada terlarut dengan patah hati.
"Lucu juga," gumam Melvin lalu mempercepat langkah menuju kafe.
***
Wanita yang mengenakan overall kargo berwarna krem itu berjalan mondar-mandir di depan pintu. Rambutnya yang diikat kuda ikut bergerak seirama. Sementara wajahnya, tampak gelisah.
"Gue udah di sini. Masa balik gitu aja?" Arina berhenti melangkah. Dia menatap pintu apartemen yang masih tertutup rapat. "Lagian, kalian udah kenal deket. Ngapain, harus jaim, sih?" Dia mendekati pintu itu dan memencetnya.
Jantung Arina berdegup lebih cepat. Sekarang pukul sepuluh, biasanya dia sudah berada di tempat kursus dan beres-beres. Namun, dia memilih ke tempat Mikha. Dia tahu, sahabatnya itu masuk malam. Diam-diam, dia melihat story Mikha meski tidak membalas pesannya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Say Goodbye
General Fiction[UPDATE 2X SEHARI SELAMA RAMADAN] Bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal? Mengapa harus mengucapkan selamat tinggal? Apa tidak bisa diperbaiki? -Mikha Tidak semua orang mudah mengucapkan selamat tinggal. -Giran Cukup tinggalkan. -Melvin