36. Jealous?

4.7K 453 109
                                    

Seminggu setelah kejadian malam itu, Vista bisa bersekolah dengan tenang. Mungkin di depannya memang tidak ada yang terang-terangan melontarkan kebencian pada Vista, tapi di belakang tidak ada yang tahu.

Mengenai kelanjutan pendidikannya, pihak sekolah memberi kesempatan untuk Vista. Dibantu Naresh, Achio berhasil meyakinkan pihak sekolah agar kejadian sebelumnya tidak akan terulang kembali.

Lambat laun, orang-orang akan melupakan semua masalah itu. Untuk Vista, tidak apa-apa jika memang butuh sedikit waktu. Tapi tentu segalanya tidak bisa sama seperti semula, nyatanya Vista tetap sendirian. Tidak ada teman dekat, juga tidak ada keluarga untuknya berbagi.

"Mau-mau aja deket sama cewek kayak Gea," cibir Vista dari tempatnya.

Dari bawah pohon mangga, Vista sedang memperhatikan Gea yang  memanfaatkan situasi saat disatukan menjadi satu pasangan dengan Achio dalam permainan bola besar.

"Dih ... pinter juga cari perhatian." Tanpa sadar, lagi-lagi dia mencibir kala melihat Gea berpura-pura kelilipan debu dan meminta Achio untuk meniup-niup matanya.

Menyilangkan tangan di depan dada, Vista memicing memperhatikan Gea yang semakin bertingkah. "Itu dia lagi bohong, bego banget jadi cowok!"

Daripada merusak suasana hatinya, Vista memperhatikan sisi lapangan yang lain. Teman-temannya berlari kesana-kemari menggiring bola basket, beberapa orang ada yang bermain voli.

Sejujurnya ingin bergabung, tapi Vista cukup sadar bahwa tubuhnya yang sekarang tidak sekuat beberapa bulan yang lalu. Berat badannya turun drastis, entah memang karena penyakitnya atau karena dia yang jarang makan. Yang pasti, hal itu juga membuatnya mudah kelelahan.

"Sok sedih segala," gumamnya pada diri sendiri. "Ini bukan masalah besar, Vista."

Selalu seperti ini, jika tidak ada orang lain maka dialah yang akan menguatkan dirinya sendiri. Hanya dengan merasakan detak jantungnya, mendengar perutnya berbunyi saat dia lapar, menguap saat dia menahan rasa kantuk, dan melihat bagian-bagian tubuhnya masih berfungsi baik sudah cukup membuatnya senang. Setidaknya sesaat hal itu bisa membuat Vista lupa bahwa ada sesuatu yang perlahan-lahan bisa membunuhnya.

"Di lapangan sana panas, udah gitu Pak Reo galak." Vista berbicara lagi. "Jauh enakan di sini, ngapain ikut gabung ke sana."

Gadis itu menunduk menatap kakinya yang bergerak-gerak menyebabkan debu. Mungkin dia bisa melakukan ini sampai teman-temannya selesai berolahraga.

Sedangkan di tengah lapangan sana, Kara menarik lengan Achio yang masih sibuk mengajarkan Gea mengenai permainan bola basket.

"Kenapa?" tanya Achio sambil menyeka keringatnya.

Kara menunjuk Vista yang duduk sendirian. "Samperin sana!"

Menatap senyum jahil teman-temannya, Achio mengalihkan pandangan. "Ngapain?"

"Temenin, bego!" Oza gemas sendiri karena laki-laki itu masih mementingkan gengsi daripada perasaannya. "Kasihan sendirian."

"Males." Achio melempar bola basketnya. "Gue nggak punya kepentingan sama dia."

"Jadi nggak mau, nih?" tanya Kara sambil menaik-turunkan alisnya, dia senang sekali menggoda Achio. "Kalau gitu, biar gue aja yang samperin dia."

Sejenak Achio diam, matanya terpaku menatap Kara yang berlari menghampiri Vista kemudian duduk di sebelah gadis itu. Dia memperhatikan lamat-lamat bagaimana ekspresi Vista yang sepertinya cukup senang bisa berbicara dengan seseorang.

"Kalau gini terus, jangan berharap lebih," celetuk Desmon.

Oza tertawa kecil. "Payah banget!"

"Berantem berani, timbang deketin cewek nyalinya nggak ada."

VistachioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang