45. Hurt

3.7K 423 199
                                    

"Ngeri gue liatnya, ngapain lo senyum-senyum kayak gitu?" Kara mengernyit menatap Vista yang tidak berhenti tersenyum sedari dia mendudukkan bokongnya.

"Udah, Vis!" Oza mengintruksi. "Gigi lo kering, tuh!"

Vista masih tersenyum lebar, sesekali menggigit apel yang setengahnya sudah berpindah pada perutnya.

"Ini cewek kayaknya udah gila." Desmon berkomentar sambil menggigit keripik kentangnya.

"Achio mana, ya?" tanya Vista penuh antusias, terkesan mengabaikan ucapan tiga laki-laki itu.

"Lagi berduaan sama Glenda."

Vista terbatuk-batuk, membuat Kara yang duduk di sebelahnya refleks memukul-mukul punggung gadis itu dan menyodorkan sebotol air mineral.

"Makanya makan jangan sambil senyum-senyum!!"

Vista meletakkan sisa apelnya. "Berduaan dimana? Kok bisa?"

Kara, Desmon, Oza, dan Achio sejak tadi memang sudah berada di kantin. Tapi sebelum Vista datang, Glenda lebih dulu menghampiri mereka kemudian menarik Achio. Katanya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

"Bisa lah, orang Glenda cantik."

Vista mendengus, sekarang dia menatap dirinya sendiri. Dulu dia begitu percaya diri pada fisiknya, tapi sekarang tidak lagi.

"Gue mau ke toilet." Berbohong, Vista sebenarnya hendak mencari keberadaan Achio dan Glenda.

"Hati-hati." Ketiganya kompak menjawab sebelum Vista melenggang pergi.

Setelah Vista pergi, Kara tertawa di tempatnya. "Cemburu itu."

"Kayaknya gitu," jawab Desmon yang dari tadi memperhatikan perubahan wajah Vista.

Kaki jenjang Vista melangkah tak tentu arah, berlarian ke segala penjuru sekolah hanya untuk mencari Achio. Tidak, lebih tepatnya untuk memastikan hubungan antara Achio dan Glenda.

Vista hanya merasa rendah diri, kalau memang mereka berdua ada hubungan maka Vista akan menjauh. Achio pasti akan jauh lebih baik bersama Glenda, daripada gadis penyakitan sepertinya.

Tunggu, memangnya Vista dan Achio punya hubungan spesial? Sialan, Vista melupakan hal itu.

Vista berhenti di dekat ruang lab komputer. Satu tangannya menempel pada dinding untuk bertumpu saat merasa napasnya mulai tidak beraturan. Tangannya yang lain meraih ponselnya di saku rok, membuka kamera lalu melihat dirinya sendiri.

"Pucet banget," gumamnya pelan, dia benci sekali menatap bibirnya yang kering. "Please, jangan sekarang."

Sejenak Vista berusaha mengatur napasnya, tubuhnya terasa semakin lemas. Pagi tadi Vista melupakan obatnya saat terlalu senang dipanggil makan bersama keluarganya.

"Apa gue bener-bener udah bergantung sama obat?" tanyanya pada diri sendiri.

Dulu dia selalu kuat, tapi akhir-akhir ini sangat lemah. Apa hidup Vista benar-benar akan bergantung pada obat-obatan dan itu menandakan bahwa penyakitnya sudah semakin parah?

Menatap ke depan, Vista mulai melangkah pelan ke arah taman belakang sekolah. Untuk berpacaran, taman belakang biasanya sangat digemari oleh siswa/siswi karena cenderung lebih sepi daripada area sekolah lainnya.

Bersembunyi di balik tembok, Vista menatap lurus pada kedua remaja yang tampak berbincang. "Mereka ngomongin apa, sih?" Vista bergumam pelan karena tempatnya bersembunyi cukup jauh dari berdirinya Achio dan Glenda.

Lima menit berjalan tidak ada yang spesial. Kedua remaja itu masih sibuk berbicara dengan penuh emosi, beberapa kali juga Glenda tampak menangis.

Tapi di menit keenam, Glenda tiba-tiba mengecup pipi Achio dan laki-laki itu tampak tidak menolak.

VistachioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang