Mengendarai mobil gila-gilaan, Kara menyumpahi Ayahnya sendiri sebab telah merepotkannya pagi-pagi begini. Laki-laki tua itu memintanya untuk diantarkan ke tempat meeting, padahal jelas-jelas dia harus pergi ke sekolah tepat waktu.
"Anjing!" umpat Kara diikuti oleh tangan yang memukul keras stir mobilnya sebab lampu lalu lintas itu berubah menjadi merah.
Mengetuk-ngetuk jarinya karena cemas, Kara menghela napas lega ketika lampu berwarna merah itu sudah berganti menjadi hijau.
Baru saja merasa lega, dia kembali dibuat emosi sebab kendaraan-kendaraan di depannya tidak bergerak.
"Ini manusia pada kenapa, sih?" gerutu Kara. "Gue udah telat, setan!"
Tin!!
Menekan klakson cukup lama, nyatanya perbuatan Kara mampu membuat pengguna jalan yang sama kalutnya menjadi semakin kesal.
Tin!!
Membuka kaca mobil, Kara berusaha melongok melihat penyebab kemacetan pagi-pagi seperti ini.
"Heran, demen banget bikin gue emosi," gerutu Kara. "Lama-lama gue suruh bokap gue buat beli ini jalan."
Tin!!
Menekan klakson lagi, seorang pria yang geram dengan perbuatannya menghampiri Kara.
"Heh!" Memukul keras body mobil yang mengkilap, pria itu menatap Kara yang tampak kesal. "Bisa sabar nggak? Di tikungan depan ada kecelakaan!!"
"Saya udah telat sekolah," jawab Kara sejujurnya. "Kecelakaannya emang di tengah jalan?"
Pria itu menggeleng. "Macet gara-gara pada nonton, korbannya masih di sana nunggu ambulance."
Tercenung, entah kenapa tangan Kara berkeringat dingin mendengar hal itu. Dia manusia biasa yang penuh dosa, wajar saja kalau Kara takut akan kematian tiba-tiba.
"Nggak ada polisi?" tanya Kara penasaran.
"Ada," jawab pria itu. "Kasian, katanya meninggal karena telat dapat penanganan. Tadi pagi baru ditemuin warga, terus polisi udah olah TKP."
Melihat keterdiaman laki-laki yang mengenakan seragam itu, dia kembali membuka suara. "Mungkin seumuran kamu karena dari kartu identitas, dia masih pelajar."
Kara yang sebelumnya tampak terburu-buru tidak tahu kenapa justru keluar dari mobilnya. Langkah besarnya membawa tubuh Kara ke halaman pertokoan di pinggir jalan.
Hendak semakin mendekat, matanya membulat saat melihat sosok laki-laki yang sangat dia kenali. Naresh, laki-laki yang dipegang oleh polisi itu tampak sedang menjerit.
"Om?" Kara menyentuh bahu Naresh. "Om kenapa?!"
Kara tidak mau melihat ke kerumunan tersebut, tapi dia sempat melirik bahwa ada darah dimana-mana.
"Kara...." lirih Naresh dengan air mata yang berlinang. "Achio."
"Achio kenapa?!" bentak Kara tanpa sadar, dia tidak bodoh untuk memahami situasi, hanya saja Kara sedang berusaha untuk berpikir positif.
Tepat setelah pertanyaan itu keluar, sebuah mobil ambulance datang. Kerumunan itu terbelah, memperlihatkan bagaimana korban kecelakaan tersebut dipindahkan ke dalam mobil.
Tangan Kara terkepal, sekalipun wajah tersebut ternodai darah tapi dia masih mampu mengenalinya. Teman yang sudah dia kenal selama bertahun-tahun lamanya, laki-laki galak yang selalu dia jahili.
Kaki Kara terasa ringan sekali, mungkin sebentar lagi tubuh Kara akan ambruk jika saja dia tidak berpegangan pada salah satu polisi yang peka terhadap kondisinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Vistachio
Novela Juvenil"Jauhin bokap gue!" "Maksudnya?" Vista memasang tampang polos, memuakkan. Achio menarik kerah seragam Vista, membuat kaki gadis itu sedikit berjinjit. "Gue benci manusia sok polos kayak lo!" desisnya tajam. Menjadi simpanan suami orang itu salah, ta...