"Aku nggak mau, Pa!"
Seorang gadis berumur sebelas tahun membekap mulutnya. Keringat sebesar biji jagung menghiasi dahinya karena saat ini tubuh kecilnya bersembunyi di dalam lemari pakaian yang pengap.
"Diem, Vidia! Nanti Vista denger." Tio, laki-laki paruh baya itu menindih tubuh seorang remaja berusia tujuh belas tahun.
Vidia memberontak tapi tenaganya jelas kalah oleh pria brengsek yang sialnya berstatus sebagai Papa kandungnya. Vidia ketakutan, tapi dia tidak berani berbuat apa-apa saat Papanya mulai mengancam.
"Stss!" Telunjuk Tio menempel pada bibir Vidia. "Kemarin kamu ulang tahun yang ke tujuh belas, 'kan?"
Vidia mengangguk pelan.
"Anak Papa udah besar," ucap Tio manis sembari membelai rambut panjang Vidia.
Mata Vidia memancarkan ketakutan, tapi Tio buta untuk melihat itu. Matanya sendiri sudah berkabut, dia sudah lama mengidam-idamkan hal ini. Putrinya terlihat menggoda di matanya.
"Vidia mau bikin Papa seneng, 'kan?"
Gadis seusianya jelas tidak bodoh oleh hal ini, maka dari itu Vidia menggeleng karena tahu kemana arah pembicaraan selanjutnya. Apa pun itu, yang jelas mengancam dirinya.
Melihat penolakan putrinya, Tio menarik rambut Vidia. "Berani melawan, hm?"
Mata Vidia sudah berair, laki-laki ini tidak akan paham bagaimana ketakutan yang Vidia rasakan. Ingin keluar dari kungkungan tubuh Tio tapi tidak bisa, ingin berteriak minta tolong pun percuma karena hanya ada dia, Tio, dan adik perempuannya di rumah. Mama dan tiga adik laki-lakinya sedang ke luar kota untuk melihat pameran yang sangat ingin dikunjungi tiga adiknya.
"Belajar jadi anak penurut," ucap Tio kembali melembut. Tangannya perlahan-lahan melepaskan satu-persatu kancing piyama yang dikenakan Vidia.
Tangan Vidia yang gemetar hebat berusaha menahan tangan Tio. "Jangan, Pa! Vidia mohon."
Tidak semudah itu Tio mau mendengarkan permohonan Vidia. Laki-laki itu justru semakin mempercepat pergerakannya hingga membuat Vidia menangis tidak berdaya.
"Vidia nggak mau!"
Apa yang tidak diinginkan Vidia akhirnya terjadi, suatu hal yang harusnya tidak dia lakukan dengan Papanya nyatanya terlaksana. Laki-laki itu memaksa Vidia untuk memuaskan nafsunya.
Penglihatannya yang sudah buram karena air mata, ditambah kamar yang gelap karena pemadaman listrik tidak membuat Vidia menyerah mencari-cari sepasang mata polos yang menatapnya dari celah pintu lemari yang sedikit terbuka.
Adiknya bersembunyi di sana, dia sendiri yang memaksa Vista masuk ke dalam sana sebelum Tio mendobrak pintu kamarnya. Tadi gadis kecil itu ketakutan sebab hujan dan kegelapan malam ini, maka dari itu Vista berlari ke kamar Vidia untuk minta ditemani tidur. Yang Vista dapatkan justru hal seperti ini.
"Kak Vidia," gumam Vista dengan isakan yang sekuat tenaga dia tahan. Tubuhnya juga gemetar di dalam benda pengap itu. Dia menyaksikan semuanya, sesuatu yang tidak harusnya dia saksikan.
Dari bantuan cahaya kilat yang sekelebat menerangi kamar itu, Vista bisa melihat semuanya dengan jelas. Bagaimana Papanya menikmati hal itu, sedangkan Kakaknya yang menangis sepanjang kegiatan mereka.
"Kak Vidia!"
Vista terbangun dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Mimpi ini kembali menghantuinya. Seperti sengaja dibuat permanen, kejadian itu seolah tidak bisa memudar dari pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vistachio
Teen Fiction"Jauhin bokap gue!" "Maksudnya?" Vista memasang tampang polos, memuakkan. Achio menarik kerah seragam Vista, membuat kaki gadis itu sedikit berjinjit. "Gue benci manusia sok polos kayak lo!" desisnya tajam. Menjadi simpanan suami orang itu salah, ta...