Membuka matanya perlahan-lahan, Vista menangkap Achio yang sedang duduk di sebelah brankar dengan kepala yang ditenggelamkan pada punggung tangan kirinya.
"Achio," panggil Vista pelan, menyentuh kepala laki-laki itu dengan tangan kanannya hingga menyebabkan pergerakan pada tubuh Achio.
"Ada yang sakit?" tanya Achio cepat, menatap khawatir wajah Vista sembari menggenggam tangan gadis itu begitu erat.
Vista tersenyum simpul kemudian menggeleng. Dia baru saja selesai melakukan kemoterapi, ditemani Achio tentunya. Setidaknya dengan kehadiran laki-laki itu, Vista menjadi lebih tenang jika dibandingkan saat pertama kalinya dia melakukan kemoterapi.
"Cantiknya gue 'kan jagoan," puji Achio lalu mengusap-usap lembut kepala Vista.
Senyum Vista mengembang diikuti dengan rona kemerahan pada pipinya. Sial, dia rasanya terbang berkali-kali jika berada di dekat Achio.
Meraih sebuah apel di atas meja yang terletak di samping brankar, Achio menyodorkannya pada Vista. "Mau apel?" tawarnya.
"Apel terus," protes Vista tapi tetap menerima buah manis tersebut. Apa pun yang diberikan Achio, Vista akan selalu suka.
"Jangan dimakan langsung!" Achio menahan tangan Vista yang hendak mengarahkan apel tersebut ke mulutnya.
"Kenapa?" tanya Vista mengurungkan niat untuk mengigit apel itu.
Mendorong kursinya ke belakang, Achio berdiri. "Gue mau cuci tangan sebentar, nanti apelnya gue kupas."
Diam saja, Vista membiarkan Achio melakukan hal semaunya. Selesai mencuci tangan dan mengeringkan dengan beberapa lembar tissue, sekarang Achio tampak kesulitan mengupas apel tersebut.
Seumur hidupnya, rasanya dia belum pernah melakukan hal ini. Mengupas apel bukan sesuatu yang besar dan mengagumkan, tapi setidaknya Achio melakukan hal yang mungkin tidak akan pernah dia lakukan jika bukan karena Vista.
"Kenapa dikupas? Dicuci aja nggak cukup?" tanya Vista pelan, dia cukup bosan menunggu Achio yang sangat lambat.
"Kata Dokter, lo itu mudah kena infeksi jadi harus diperhatikan banget kebersihan makanan atau lingkungan sekitar." Masih fokus dengan pisau dan apelnya, Achio sesekali melirik Vista. "Mulai sekarang, anggap aja kalau gue itu Dokter gizi lo."
Ada dua perasaan bertolak belakang dalam hatinya. Yang pertama, walau pun terlihat biasa saja tapi ada sedikit rasa sedih mendengar fakta bahwa dirinya begitu lemah. Yang kedua, dia senang sebab Achio begitu memperhatikan hal-hal kecil seperti ini.
Disaat semua orang tidak tahu dan abai, bahkan dirinya sendiri juga tidak pernah begitu peduli. Tapi Achio, laki-laki itu seolah mencintai Vista lebih dari Vista mencintai dirinya sendiri.
"Dihabisin, ya?" Achio menyerahkan mangkuk berisi apel yang telah dipotong-potong pada Vista.
Setelah mengubah posisinya menjadi duduk, Vista melahap buah tersebut dengan bantuan garpu.
Cukup lama diam memperhatikan gadis itu, Achio kembali membuka mulutnya. "Vista."
"Hm?" Memasukkan dua potong apel ke dalam mulutnya, Vista menatap Achio sambil mengunyah.
"Lo mau berhenti sekolah nggak?"
Tersedak, Vista terbatuk-batuk hingga Achio dengan cekatan membantu gadis itu untuk minum.
"Maksud lo apa?" Vista bertanya setelah dia merasa lebih baik.
"Di kondisi kayak sekarang, nggak memungkinkan buat lo sekolah."
Vista tersenyum getir. "Gue tau kalau gue lemah, tapi gue nggak mau berhenti sekolah."
"Ini demi kebaikan lo, tadi Dokter bicara sama gue kalau lo perlu perawatan intensif."

KAMU SEDANG MEMBACA
Vistachio
Teen Fiction"Jauhin bokap gue!" "Maksudnya?" Vista memasang tampang polos, memuakkan. Achio menarik kerah seragam Vista, membuat kaki gadis itu sedikit berjinjit. "Gue benci manusia sok polos kayak lo!" desisnya tajam. Menjadi simpanan suami orang itu salah, ta...